Selasa, 02 November 2021

Puisi: Mereka Yang Menertawaiku

Mereka yang Menertawaiku *** Perlahan kumelirik tumpukan kertas di pojok ruang Sembilu mengejek mengumpat memanas si ruam Tiba-tiba semua menjadi basi menganti emosi sesuang Marah, pecah, mengoyak kain sedianya bertuam Berhamburan tumpukan itu dan meratap si guam Celaka jelata merasa duka menghimpit bersaungan Seluruh ruang tertawa puas melepas gumam Lalu memelototiku angkuh tanpa iba sepengasihan Aku berteriak, mengibas mengayun pisau berkacauan Berantak serentak hentak, hendak sidak aku si badak tak berotak Lalu meluap emosinya menunjuk aku berkeroyokan Berangan menghabisiku di tengah raganya yang koyak Hei, mereka tidak tahu kalau orang gila sudah marah Payah merayah raga yang terlanjur basah oleh amarah Pilihan mereka hanya berhenti mengoceh atau menyetor nyawa si sampah Sebab menahan aku hanya menjadi kesiaan tak berbuah Diam! Atau semuanya kubakar bersama harapku yang hancur Berikan aku jalan! Atau kusulap semuanya menjadi abu Jangan lagi di tubuhku tertancap paku pencucur Jangan! Atau hal menyeramkan menjadi misteri seonggok hantu... Minggir kalian! -Indra Hidayat-

Rabu, 08 Maret 2017

Nenek penjual Kayangan part 4

Buru-buru pemuda itu berlari menuju ke dermaga tempat kapal memuntahkan muatannya. Ia berlari agak kencang karena takut ketinggalan kapal. Ya, ampun! Ia lupa berpamitan dengan si nenek. Bahkan ia belum sempat menanyakan siapa namanya dan dimana tempat tinggalnya. Ia menyesal sejadi-jadinya. Namun, satu hal yang menjadi pengingatnya, tentang Saleh dan Minah. Hanya itu yang bisa ia jadikan sebagai penanda. Dinaikinya kapal itu selama satu jam hingga ia tiba di Tano untuk melanjutkan perjalanan ke Bima. Perjalanan kembali ke kampung halaman kali ini menjadi terasa sunyi. Di sepanjang jalan ia teringat dengan si nenek. Ia memojok di jendela bis dan terus mengingat cerita si nenek hingga ia tidak sadar air matanya kembali menetes. Bunyi handphonenya berulang kali tetapi tidak digubrisnya. Ah, begitu dalam perasaannya rupanya. Hingga kesekian puluh kali handphonenya kembali berbunyi, baru ia mengangkatnya. Rupanya ia adalah Amar, teman dekat yang juga seorang manajer di toko elektronik miliknya. Lalu sebenarnya siapa dia? Ya, dia adalah Hasim Haryanto, seorang pemuda berdarah Bima Jawa yang sukses di usia muda. Ia memiliki sepuluh cabang usaha nomor wahid di Bima. Di usianya yang berjalan 27 tahun, ia sudah bisa mengumpulkan 100 orang karyawan beserta tenaga teknis. Keuntungannya berlimpah setiap bulannya, namun tidak lekas membuatnya sombong. Ia adalah pengusaha muda yang bisa hidup sederhana. Berbagi adalah hal yang membahagiakan dan peduli adalah sikap terdepan dari dirinya. Rupanya hari itu ia baru pulang dari Jakarta. Ia turun di bandara Internasional Lombok kemudian melanjutkan perjalanan kembali ke Bima hingga ia bertemu dengan si nenek. Kali ini Amar benar-benar dibuat pusing olehnya. Berkali-kali ia menghubungi teman sekaligus bosnya itu. Sebagai orang yang berada pada ranah bisnis, waktu adalah segalanya. Melalaikan waktu sama halnya membuang kesempatan untuk meraih keuntungan. Namun, prinsip itu sepertinya meluber setelah ia seharian memikirkan si nenek. Hingga Amar berhasil menghubunginya pun, jiwa bosnya hilang sejenak. "Aduh, kawan. Kamu kenapa sih? Dari tadi kita hubungi tidak diangkat-angkat. Bikin cemas tahu!" Amar sedikit menggerutu.
"Oh, maaf. Tadi saya ketiduran di bis. Kenapa, Mar?" Hasim menutupi perasaannya. "Gini, rencana bakti sosial di Sanolo besok jadi tidak?" "Ya, jadilah. Kan sudah saya serahkan ke kamu." "Ya, saya khawatir ada perubahan saja. Kalau begitu saya kukuhkan ke teman-teman." "Ya, lanjut saja. Oh, kemarin samsung dari Surabaya sudah sampai?" "Sudah, jam sepuluh." "Oh, bagus lah. Kalau begitu sampai ketemu di Bima." "Iya,dah. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam." Bersambung

Selasa, 16 September 2014

Materi Nahwu tentang Fiil kelas 1 SMA

pekan yang lalu kita sudah membahas tentang isim yang kemudian dibagi dalam sembilan macam. Pada pertemuan ini kita akan membahas tentang fiil atau yang kita kenal dengan kata kerja. 1. Pengertian Fiil Fiil adalah kata yang dikhususkan untuk kata kerja. sebagaimana yang kita ketahui, bahwa al-kalimah dibagi menjadi tiga. Nah, salah satunya adalah fiil itu sendiri. 2. Pembagian Fiil pada umumnya kita membagi fiil itu ke dalam fiil madhi, mudhori', dan amer. Ini tentu berbeda dengan pembagian fiil dalam pembahasan ilmu shorof. Fiil dalam ilmu shorof dibagi ke dalam fiil shohih, naqish, ajwaf, lafif dll. Namun, untuk mengerucutkan pembahasan, kita hanya membahas tiga jenis fiil yang pertama. 2.1. Fiil Madhi Fiil madhi adalah kata kerja yang menunjukkan perbuatan yang sudah lampau atau berlalu. pada umumnya fiil madhi terdiri dari tiga huruf (ف ع ل ) yang kemudian pengembangannya dalam ilmu shorof, yang kemudian dapat berupa tsulatsi mazid atau yang lainnya. 2.2. Fiil Mudhori' Fiil mudhori adalah kata kerja yang menunjukkan pekerjaan yang sedang atau akan dilaksanakan. bentuk fiil mudhori umumnya berupa (ي ف ع ل ). Adapun apabila suatu pekerjaan itu akan segera dilaksanakan tinggal ditambahkan س di depan fiil mudhari, dan apabila fiil itu akan dilaksanan dalam waktu yang lama (bulan depan, pekan depan, tahun depan dll) maka menggunakan سوف. 2.3. Fiil Amer Fiil amer adalah kata yang berfungsi untuk memerintah atau sebagai kata perintah. Fiil amer ini sangat bergantung pada bentuk wazan fiil itu. Jadi, sangat menuntut penguasaan ilmu shorof lagi.

Minggu, 17 Agustus 2014

Cerpen: Kelas si Hamsi

by Indra Hidayat Pagi itu ketika sinar matahari hendak masuk ke ruangan belajar, rupanya Hamsi sudah hadir lebih awal. Tampak mukanya beringisan bercampur senang karena baru saja berhasil mengerjai kakaknya di rumah. Sebagai salah seorang mahasiswa di perguruan tinggi swasta STKIP Yapis Dompu, ia berkuliah seperti teman-teman lainnya. Namun kadang ulah jahilnya kerap membuat seisi kelas menjadi gaduh dan riuh dan tidak jarang pula dosen dan mahasiswa kesal dan jengkel dibuatnya. Sebagaimana diinformasikan oleh ketua tingkat sebelumnya, hari itu akan ada mahasiswa pindahan dari pulau Jawa. Pembicaraan mahasiswa pindahan itu sudah ramai dibicarakan karena ketampanannya. Para gadis di kelas sibuk menggosipkan tentangnya meskipun mereka belum melihatnya langsung. Disebabkan oleh ulah gadis-gadis di kelas yang berlebihan, Hamsi cenderung mengomentari sebagai tanda protes. Ya, hal yang wajar saja karena dengan itu popularitasnnya sebagai raja usil dan jahil akan tersisihkan oleh gosip baru. Di luar sangkaan Hamsi, mahasiswa baru itu benar-benar datang lebih awal setelahnya. Namun bagaimanapun ulah Hamsi tidak akan pernah tertinggal meskipun hanya sebatas pemanasan. Dia mulai berlagak akrab dengan mahasiswa itu meskipun belum diketahui olehnya siapa nama mahasiswa yang menjadi korban gosip itu. “Hhh..Hay... Aku Hamsi! Aku mahasiswa jurusan Sastra di sini. Kamu siapa?” lagak Hamsi yang sedang sok kenal sok dekat. “Hay juga! Aku Dicky pindahan dari Fakultas Sastra Undip. Yah, ke sini atas permintaan ortu kok.” jawab Dicky tidak mau kalah. “Oo, keren ya anak Undip. Hehehe...” celetus Hamsi disertai tawa kecil. “Tidak juga. Biasa aja lagi, Bro!” sela Dicky sedikit merendah. “Eh, kamu tahu tidak di sini dosennya banyak yang galak. Apalagi dosen mata kuliah Kajian Puisi itu. Ih, seram sekali deh pokoknya!” gaya Hamsi mulai menakut-nakuti. “Aku tahu!” tanggapan Dicky santai. “Apalagi kalau masuk ke kelas kita, matanya diplototin sampai mau keluar. Sudah begitu, suaranya kayak suara raja hutan. Sebalin deh!” lagi-lagi Hamsi berpersuasi. “Aku tahu kok!” jawab Dicky masih ringan. “Apalagi kalau lagi ujian, mahasiswa pada geram semua karena kita tidak boleh ngapa-ngapain. Ya, diatur begini lah, begitu lah, ke sana lah, ke sini lah. Pokoknya kita kayak robot aja yang semaunya dipencet remotnya sampai lemot!” persuasi Hamsi sambil berapi-api. “Aku tahu kok!” tanggap Dicky yang masih saja datar. “Ngomong-ngomong, kok kamu tahu semua, emang kamu dari mana?” Hamsi bertanya penasaran. “Aku ‘kan anaknya!” jawab Dicky santai. “Hah? Masak iya?” tanya Hamsi tidak percaya. “Santai aja, Bro. Emang Bapakku itu yang menyuruhku pindah ke sini.” Jawab Dicky tidak mau memperlihatkan kemarahan. “Sorry, ya! Hehehe, aku hanya bercanda kok!” tanggap Hamsi menutupi rasa malu. Hari itu menjadi tamparan hebat buat Hamsi. Seumur-umur berada di kampus itu, Dicky lah yang menjadi penangkal kejahilannya. Entah karena bapaknya telah memberi tahu sebelumnya perihal Hamsi di kelas barunya, atau karena ia punya selera yang sebelas dua belas dengannya. Satu bulan berlalu, ujian tengah semester tiga pun tiba, sudah menjadi menjadi jurus andalan Hamsi yaitu contekan yang disimpannnya di tempat-tempat ajib. Tidak ketinggalan di sela kaos kaki dan sepatunya. Maka mengetahui itu, Dicky yang mulai terbiasa mengerjainya membuat ulah buat Hamsi. “ehm, ehm...” Dicky mulai beraksi. “Kenapa Dicky, tak ada minyak tak ada lendir, kok batuk-batuk?” Hamsi menutupi ketegangan. “Anu, di sepatuku ada yang timbul-timbul dan kelipat-lipat begitu!” Dicky mulai mengerjainya. “Astaga naga!” Hamsi berlagak kaget. “Astaga kodok.” Dicky tidak mau kalah. “Lho, kok tanggapannya begitu?” “Hamsi, Hamsi. Kamu juga lucu. Ngapain juga kamu ngatain aku naga? Yang benar ‘kan astagfirullahal azhiim.” “Ah, ada-ada aja kamu Dicky. Biasa kok orang katakan begitu.” “Hati-hati lho membiasakan sesuatu yang tidak dibiasakan!” sindir Dicky pelan. “Udah, ah! Aku mau lanjut lagi!” “Yayaya. Jangan nyontek lho Hamsi. Ntar kalau ketahuan bahaya!” “Nggak. Aku udah belajar kok!” “Hehehe, hanya nasehat lho, Hamsi!” “Iya iya!” Demikian cara Hamsi menutupi kebiasaan buruknya selama ujian. Setelah ujian tengah semester berlangsung, maka mahasiswa belajar kembali seperti biasanya. Kali ini dosen mata kuliah Sejarah Sastra ibu Nining lah yang menjadi sasaran kejahilan Hamsi. Mula-mula Ibu Nining duduk dan mulai menerangkan kembali materi kuliah tentang beberapa tokoh sastra tersohor pada masa lampau. Namun di pojok ruangan, Hamsi malah sibuk melempar-melempar Dicky dengan bola-bola kertas. Melihat ulahnya itu, Ibu dosen memberikan teguran sekaligus pertanyaan kepadanya. "Hamsi, jangan main-main kamu!" ungkap ibu Nining dengan suara sedikit disentak dan setengah centil. "Iya, Bu. Maaf." "Sekarang kamu jawab pertanyaan saya! Kamu kenal siapa itu Hamka?" pertanyaan Dosen bertambah centil. "Tidak lah, Bu!" menjawab sembari tertawa geli seakan merasa dosen sedang pamer mantan pacarnya. "Terus, Sutan Takdir kamu tahu?" Kembali Hamsi berbicara dalam hati "Ah, ibu mentang-mentang punya banyak pacar malah pamer sih!" "Hamsi!" Kembali ibu dosen memanggilnya. "Iya, Bu. Saya tidak tahu!" "Terus Marah Rusli juga kamu tidak kenal?" "Ah, ibu nanya yang aneh-aneh. Coba sekarang saya nanya Ibu. Ibu kenal Rika Putri Ainda tidak?" celetus Hamsi bertanya menguji. "Tidak!" "Terus, si Dina Madinah kenal tidak?" "Tidak juga!" "Terus, si Eka Puspita kenal tidak?" "Juga tidak! Emang mereka siapa?" "Aduh, Ibu Dosen. Kita kan punya kenalan masing-masing...., Bu!" "Hah? Maksud kamu apa?" tanya Dosen kaget. "Ah saya jengkel ibu pamer mantan pacar aja dari tadi!" "Busyet! Itu nama tokoh-tokoh sastra Indonesia, Hamsi!" Ibu Dosen menunjukkan geramnya. "Ops, gitu ya? Sorry, Bu!" Hamsi berlagak norak dan serba salah. Maka seketika ruangan berubah gaduh dan pecah oleh teriakan dan sorakan. "Sudah, sudah, sudah!" Dosen Sejarah Sastra itu menenangkan ruangan. Tepat setelah proses perkuliahan selesai, maka Dicky mendekati Hamsi untuk sekedar mengingatkan. Kebodohan dan usilnya itu mengganggu banyak orang. Yah, entah kebodohan itu memang direncanakan atau memang karena daya tangkapnya yang lemah. Dicky pun sudah mengetahui akan banyaknya mata kuliah yang Hamsi tidak lulus. Oleh karena Itu bisa saja dosen merasa geram padanya atau memang ia tak pantas untuk diluluskan karena loadingnya yang super lelet. Akan tetapi, lagak Hamsi seakan tak mau mendengarkan nasihat Dicky. Didengarkannya masukan itu hanya sambil lalu saja seakan tak penting baginya. "Hamsi, sebelum semuanya terlambat lho! Kamu akan rugi kalau tidak segera merubah sikap dan kemampuan berpikirmu." ungkap Dicky menasehati. "Iya, iya! Terima kasih guru yang bijaksana!" "Waduh, kamu kayak gini kapan seriusnya? Kamu tidak malu ditertawai seperti itu?" "Ada saatnya untuk saya menyadari itu teman!" "Ya, terserah kamu lah! Malas juga aku lihat bagaimana kamu menanggapinya!" Dicky lantas meninggalkan Hamsi dengan sedikit kecewa. Benar rupanya apa yang dipesankan teman-temannya. Selagi Hamsi tidak merubah sikapnya itu, maka bisa saja jumlah dosen yang tidak senang kepadanya terus bertambah. Hingga waktunya dosen kajian puisi yang paling dibencinya pun masuk di ruangan mereka. Lagak Hamsi hari itu polos dan belum ada tanda usilnya. Hal yang wajar tentunya karena bapaknya Dicky itu adalah orang yang paling ditakuti sekaligus dibencinya di kampus. Namun meski suasana kelas datar dan tidak mencolok, rupanya tidak membuat ekspresi wajah dan intonasi suara Pak Dosen menjadi tenang dan lembut. Maka, tegas dan pasti dosen mengumumkan kepada para mahasiswa. "Sebelum proses kuliah dimulai, yang bawa hape matikan!" Spontan Hamsi menanggapinya serius. Seakan hal yang luar biasa untuknya. "Sekali lagi, yang bawa hape matikan!" penegasannya dengan sentakan luar biasa. Maka spontan Hamsi terbangun dari tempat duduknya dan hendak lari keluar kelas. "Busyet! Tidak, tidak, tidak!" teriak Hamsi agak ketakutan. "Hei, stop! Kenapa kamu seperti cacing kepanasan begini?" tanya dosen penasaran. "Mohon ampun, Pak. Saya mengaku banyak salah sama Bapak, sama teman-teman juga! Saya juga sebenarnya belum pantas lulus sekolah, karena saya tidak mengerti apa-apa! Selama ujian, saya hanya mengandalkan jawaban dari orang-orang, Pak. Saya mohon ampun!" "Kamu ngomong apa?" Dosen kebingungan. "Saya mengerti Bapak tidak senang sama saya, Pak. Tapi saya mohon jangan bunuh saya, Pak. Sekali lagi saya mohon!" "Lha ngapain juga saya harus membunuh kamu? Kamu siapa?" Hamsi terdiam, teman-temannya pun terdiam. "Ttt.. tadi.. Bbbb.. Bapak bbb.. bilang kepada teman-teman, ssssa..yya akan ddd..dibunuh kk..karena kkk.. kktahuan mm.. main hape ddd.. di kelas, Pak!" "Kapan saya bilang?" bertanya dengan sedikit ditekan. "Tt..tadi Bapak bb..bilang yang bb..bawa hh..hape matikan. Bapak bb..berarti mm..menyuruh tt..teman-teman bb..bunuh saya, Pak!" Mendengar penjelasan itu, ruangan berubah riuh dan ramai. Merasa perlu mengarahkan Hamsi, dosen menenangkan ruangan dan mulai berkomentar untuknya. "Sudah, sudah, sudah! Dengar kamu. Kemungkinan semester ini juga banyak mata kuliahmu yang tidak lulus karena kebodohanmu. Sebaiknya kamu segera rubah diri dan minta bimbingan teman-temanmu. Kalau kamu mau rubah diri dan rubah sikap, saya masih punya kesempatan untukmu supaya bisa lulus. Jangan hanya bangga dengan usil dan lagak bodohmu. Mohon maaf kalau nasehat saya menyakitkan!" "Iya, Pak. Saya akan mendengarkannya! “lagipula, kalimat saya tadi cukup bisa dipahami kok. Masak iya kamu artikan yang lain. Hapemu yang dimatikan bukan kamu. Paham?” “Iya, Pak. Saya mohon maaf.” “Ya, sudah. Mulai sekarang kamu harus bongkar semua kebiasaan burukmu. Rajin belajar dan bertanya untuk memperbaiki kekuranganmu!” “Iya, Pak. Saya berjanji akan ingat kata-kata Bapak.” Suasana ruangan berubah hening. Karena terenyuh, Hamsi meneteskan air mata karena malu dan haru. Malu mengakui kekurangan dan kebodohannya, dan haru karena dosen yang paling dibencinya mampu menghadirkan kekuatan untuknya. Spontan saja ia meraih tangan pak dosen dan menciumnya. Melihat itu, teman-teman mahasiswa ikut hanyut terbawa suasana. Bahkan tidak berat mereka menyumbangkan aplous tanda bangga kepadanya. Tiga tahun kemudian, akhirnya ia diwisuda satu tahun lebih lambat dari teman-teman sekelas karena banyak mata kuliah yang mesti diulanginya. Namun rupanya pengulangan itu menjadi hal positif karena banyak dosen yang kagum akan perubahan sikap dan kemampuan Hamsi. Dengan indeks prestasi 3.52 ia mampu menjadi salah seorang mahasiswa yang cumlaude di kampus itu. “Inilah persembahan untuk orang tuaku, dosen-dosenku, sahabat-sahabatku yang selama ini tidak berhenti mendorongku untuk menjadi lebih baik. Di kelas itu, kelas si Hamsi, kami menyapa dunia, kami bisa membuktikan untuk menjadi agen of change.......” Demikian akhir kata Hamsi saat pidato persembahan wisudawan.

Senin, 14 Juli 2014

Cerpen Nenek Penjual Kayangan part III

"Innalillahi wainna ilaihi rojiun..." seru pemuda dengan nada sedih.
"Saya benar-benar tidak berfirasat akan terjadi sesuatu. Saya benar-benar merasa mereka sedang asyik berjualan di sekitar pelabuhan. Hingga tengah malam tiba, saya meringankan hati untuk bangun shalat walau beberapa rakaat. Ketika melewati dapur, barulah teringat bahwa hape tertinggal di sana. Akhirnya hape saya ambil dan iseng untuk memencet-mencet. Rupanya banyak sekali panggilan tak terjawab. Cemas mulai hadir, karena Minahlah yang rupanya menelepon. Kemudian SMS itu saya buka dan membaca meski tidak begitu lancar. Kecemasan itu semakin menjadi. Kemana perginya kedua anakku dan mengapa tiba-tiba memohon maaf dengan lembutnya? Namun salat sunnah tetap dilanjutkan seraya bermunajat kepada Allah untuk diberikan petunjuk. " Nenek mengusap matanya yang berkaca mengenang peristiwa itu.
"Rupanya kegelisahan saya terjawab dua jam setelah itu. Sekitar pukul empat pagi, seorang teman seperjuangan Saleh yang biasa dipanggilnya Amin datang ke rumah untuk mengabarkan kejadian serta bercerita serinci-rincinya. Kabar itu bak badai besar yang melanda keyakinan saya. Saya sempat berbicara tidak karuan tanda tak sadar. Namun Aminlah yang menolong dan menguatkan saya. Maka ketika saya mulai sadar kembali, barulah saya menangis sejadi-jadinya. Bisa saja tidak banyak orang yang mendengar tamgisan itu karena rumah di sana jarang adanya. Sementara dua cucu saya tertidur pulas. Ah..... ini seperti mimpi buruk cucuku...."
"Lalu apa tindakan pihak kapal, Nek?" Si pemuda kembali bertanya.
"Pagi-pagi jasad Saleh dan Minah dicari. Syukur mereka ditemukan meskipun sudah tak bernyawa. Setidaknya itu menutupi rasa kehilangan saya. Sementara anak mereka tidak mengerti apa yang sedang menimpa keluarganya. Hanya pandangan kosong yg terpancar, serta hati yang membeku...." suara pelan nenek menutup cerita.
"Astagfirullah... Ampuni hamba ya Allah. Hamba yang tak pandai bersyukur." Pemuda bertengadah seraya menghayati musibah yang dialami si nenek.

"Tenang, Nak. Saya di sini masih kuat. Saya tak mau menyia-nyiakan amanat yang Allah titipkan. Saya yakin ada hikmah di balik semua ini. "
"Tapi setelah Nenek bercerita seperti ini pun, saya tidak akan menyia-nyiakan amanat untuk saya. Mulai hari ini nenek menjadi amanat bagi saya!"
"Maksudnya apa, Nak?"
" Nenek tak usah khawatir, saya akan berusaha memperhatikan Nenek sekuat tenaga saya. Hari ini mungkin saya belum bisa membawa Nenek tinggal dengan saya. Namun di dompet saya ini ada beberapa ratusan uang. Saya berharap Nenek tidak keberatan untuk menerimanya"
"Tapi, Nenek masih kuat. Insya Allah nenek mampu mengurus kedua cucu nenek juga."
" Jangan menolak, Nek. Ini adalah kesempatan beramal saya. Beberapa waktu lagi, insya Allah saya ke sini lagi. Saya akan cari nenek sampai dapat, sekuat tenaga saya."
"Tapi, tapi... saya malu, Nak. Anakda itu orang baru saya kenal. tak mungkin saya begitu lancang kepada kamu."
"Ah, ini cara Allah menolong Nenek. Terimalah."
Si nenek kemudian menunduk menangis haru. Hari ini bisa saja menjadi hari paling bahagianya setelah lama diselimuti kepedihan yang berkepanjangan. Sementara si pemuda berjanji apabila ia datang akan menjemput Nenek beserta cucunya untuk tinggal bersamanya.
Lalu, siapa sebenarnya pemuda itu dan dari mana datanya?

bersambung...

Sabtu, 28 Juni 2014

Dongkrak, Dongkrak, Dongkrak Semangat Amal Ramadhanmu!

bismillah...



أهلا رمضان مرحبان يا شهر الصيام....



Alhamdulillah rasanya senang bisa kembali menyapa Ramadhan. Di awal puasa begini enaknya menyusun agenda yang rapi dan menarik berkait dengan hal apa saja yang ditargetkan selama bulan Ramadhan.



Pada tahun yang lalu seorang Ustadz berbakat Burhan Soddiq menulis di akun facebooknya tentang target membaca Quran serta mengkhatamkannya dalam sebulan. Tips yang ditawarkan cukup ringan karena untuk menyelesaikan satu Quran cukup dengan membaca dua lembar per waktu shalat. Kalau dalam sehari mampu mendapatkan satu juz (one day one juz), maka dalam tiga puluh hari sebanyak tiga puluh juz. Wah, tentunya senang dong kalau puasa dimaksimalkan dengan membaca dan mengkhatamkan al-Quran???



Dua tahun yang lalu saya punya keinginan di dalam bulan puasa bisa dimanfaatkan untuk menghafal Al-Quran pula. Sedikit sulit sih karena tidak dimanage dengan baik. Namun saya punya keyakinan, kalau bersungguh-sungguh tidak ada yang mustahil bagi Allah. Nah timbul pertanyaan, bagaimana cara memaksimalkan hafalan sedangkan target mengkhatamkan Al-Quran juga berjalan? Yups, manfaatkan waktu pagi jelang waktu dhuha. Bisa ditikror (diperlancar) pada malam setelah tarawih.



Nah, sekarang tentang tarawih. sebenarnya ada banyak pandangan tentang waktu pelaksanaan shalat Qiyam al Lail. Ternyata tarawih itu tidak harus setelah isya. Melaksanakan tarawih di sepertiga malam dirasakan lebih nikmat dan menyentuh. Nah, untuk memaksimalkan Tarawih tidak ada salahnya dicoba di sepertiga malam. Dengan itu, tarawih bisa lebih berasa. Tapi, kalaupun misalkan waktu setelah isya itu bisa dimaksimalkan, silahkan tafadhol dhol dhol :-)



Sekarang tentang puasa. Tidak heran banyak orang yang puasa hanya menahan lapar dan haus. Mereka hanya mengugurkan kewajiban tetapi tidak mendapatkan pahala dan berkah dari puasa itu. Bayangkan saja, kalau lisan tidak ditahan untuk berbicara yang ghairu nafi', lagwun, dan penuh dosa maka dengan mudahnya kita melepaskan pahala puasa kita begitu saja. Hummm, sayang lha.! Oleh karena itu tinggalkan ia dan mending gunakan waktu untuk berbicara yang bermanfaat. Demikan pula, sering kita teledor dengan fungsi telinga kita. Ah, kalau tidak cepat sadarkan diri maka telinga biasanya menikmati sesuatu yang diharamkan. Alihkan saja kebiasaan suka mendengar pada hal-hal terpuji. Dengan itu, insya Allah kita mampu menjaga kualitas puasa.



Yang lainnya adalah shalat dhuha dan infak. Dua hal ini adalah sesuatu yang saling membangun. Kalau kita tidak keberatan, bulan ramadhan baik untuk pembiasaan dan pembelajaran shalat dhuha. Bahkan kalau kita tidak punya kemampuan untuk berinfak, maka shalat dhuha sebagai penggantinya. Demikian, rahasia dimudahkan rezeki, yaitu dengan shalat dhuha.



Jadi, bagaimana program Ramadhanmu? Siap untuk mendongkrak amalan? Let's do together...