kawan-kawan, saya cukup lelah mengumpulkan artikel ini dari berbagai sumber... tapi tidak mengapa, saya senang bisa menyelesaikannya dan bisa kalian baca... makasih ya dah berkunjung ke blog ku.... :)
WAWASAN PENDIDIKAN, MEMANUSIAKAN MANUSIA
Apakah itu wawasan kependidikan?
wawasan kependidikan adalah pengetahuan yang harus dimiliki oleh para pendidik
maupun calon pendidik tentang bagaimana memanusiakan manusia.
Educational horizon (wawasan kependidikan) is the way you perceive education
today and how it will go in the future – for the better or worse. More
importantly – how you are going to move to a better education.
“Wawasan kependidikan adalah bagaimana
kamu (kita) melihat pendidikan sekarang ini dan bagaimana kelanjutannya dimasa
mendatang- menjadi lebih baik maupun lebih buruk. Yang lebih penting lagi-
bagaimana kamu (kita) akan bergerak maju untuk pendidikan yang lebih baik.”
Pandangan
Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan
Dalam berbagai sumber tulisan
tentang pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan harus dimulai dari persamaan
persepsi pemangku pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Menurut Kihajar
Dewantara mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan
manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam
mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang
otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan.
Ki Hajar Dewantara juga pernah
mengatakan : “Pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas
hidupnya lahir, sedang merdekanya hidup batin itu terdapat dari
pendidikan.“Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnya lahir atau batin tidak
tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan
sendiri.“Maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk perikehidupan
bersama ialah memerdekakan manusia sebagai anggota dari persatuan.
Memanusiakan Manusia Melalui Konsep-Konsep Dasar Manusia
Manusia tidak hanya sebatas menjadi homo,tetapi harus
meningkatkan diri menjadi human.Manusia harus memiliki prinsip,nilai,dan rasa
kemanusiaan yng melekat pada diri nya.Manusia memiliki akal budi yang bisa
memunculkan rasa atau prikemanusiaan.Prikemanusiaan inilah yang mendorong
prilaku baik sebagai manusia.
Memanusiakan manusia berarti perilaku manusia untuk senantisa menghargai dan menghormati harkat & derajat manusia lainnya.Memanusiakan manusia adalah tidak menindas sesama,tidak menghardik,tidak bersifat kasar,tidak menyakiti,dan prilaku-prilaku lainnya.
Memanusiakan manusia berarti memanusiakan antarsesama,memanusiakan manusia menguntungkan bagi diri sendiri dan orang lain.Bagi diri sendiri menunjukan harga diri dan nilai luhur pribadinya sebagai manusia,bagi orang lain memberikan rasa percaya,hormat,kedamain,dan kesejahteraan hidup.Sebaliknya,sikap tidak manusiawi terhadap manusia lain hanya akan merendah kan harga diri dan martabatnya sebagai manusia yang sesungguhnya makhluk mulia.sedangkan bagi orang lain sebagai korban tindakan yang tidak manusiawi dan menciptakan penderitaan,kesusahan,ketakutan,maupun rasa dendam
Sejarah membuktikan bahwa perseteruan,pertentangan dan peperangan yang terjadi di berbagai belahan dunia karena manusia belum mampu memanusiakan manusia lain.Sikap dan perilaku manusia didasarkan atas prinsip kemanusiaan yang disebut the mankind is one.Prinsip kemanusiaan tidak membeda-bedakan kita dalam memperlakukan orang lain atas dasar warna kulit,suku,agama,ras,asal,dan status sosial ekonomi.Sebagai makhluk tuhan yang sama harkat dan martabat nya dihadapan Tuhan sudah selayaknya kita bersikap manusiawi terhadap orang lain,apapun latar belakangnya.
Manusia itu mahluk ciptaan-Nya yang unik. Karena diberikan kelebihan dari akal budinya, tapi juga memiliki kekurangan dibandingkan makhluk lainnya. Begitulah indahnya kehidupan. Dengan hanya mengandalkan otaknya, manusia bisa berdigdaya menundukkan alam ini. Manusia harus dimanusiakan. Seorang manusia berbeda antara satu dengan lainnya. Tidak ada yang sama persis. Oleh karenanya dalam menangani manusia terdapat aspek yang sifatnya “customized”, yang berbeda antara menangani satu orang dengan orang lain. Namun sekali lagi manusia adalah manusia. Disamping memiliki kekhasan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, terdapat pula kesamaan antara seorang manusia dengan manusia lain.
Setiap manusia ingin hidup nyaman, ingin dihargai, ingin dimengerti.Dalam konsep pengendalian, apabila kita berhasil memberikan apa yang diperlukan oleh orang-orang disekitar kita, maka orang-orang disekitar kita akan lebih mudah dan lebih merasa nyaman saat harus kita kendalikan. Dengan kata lain, karena manusia ingin hidup nyaman maka apabila kita berhasil memberikan kenyamanan, kita akan lebih mudah mengendalikan orang tersebut. Jadi, bila mereka ingin dihargai, maka berikan penghargaan. Mereka ingin dimengerti, maka berikan pengertian. Itu kiatnya. Berikan apa yang mereka inginkan, karena sebagian besar yang mereka inginkan sebetulnya kita mampu untuk memberikannya. Iman dan Takwa adalah buah kesadaran, keyakinan – yang mana sudah ada di dalam diri setiap manusia. Kesadaran itu, keyakinan itu hanya perlu diungkapkan. Dan, pengungkapan itu menjadi tugas Agama.
Kalau kita berhadapan dengan kekhasan orang, maka kita perlu memiliki soft skill untuk memahami orang per orang. Dari kebutuhan umum orang-orang disekitar kita yang dapat kita generalisasikan, ternyata ada prioritas yang berbeda antara satu dengan lainnya.
Sadar atau tidak, pendidikan selain untuk mencerdaskan bangsa, juga membatu untuk mendewasakan bangsa, sehingga bangsa bisa memiliki karakter yang berpendidikan moral. Secara mendasar, pendidikan ada, karena ada manusia. Oleh karena itu, pendidikan ada hanya untuk manusia, bukan untuk hewan atau sejenisnya. Hal mendasar seperti inilah yang perlu kita catat besar-besar di kepala kita, khususnya bagi mereka yang menjadi seorang guru. Sebab, kita sering kali melupakan bahwa orang yang menjadi amanat kita adalah manusia yang memiliki keragam dan keseragaman yang begitu kompleks.
Seperti yang telah kita singgung di atas.Manusia memiliki kekhasan tersendiri.Manusia yang satu berbeda dengan manusia yang lainnya.Namun pada saat sekarang,banyak sistem-sistem atau prosedur yang dibuat oleh manusia sendiri tetapi menjadikan manusia terbelenggu akan hal tersebut.
• Dalam Segi Pendidikan
Realita yang terjadi, murid dianggap sebagai sebuah robot. Murid yang masuk pada salah satu sekolah yang sudah memiliki visi, misi dan tujuan. Seketika itu, pemilik lembaga langsung men-set up semau lembaga mereka. Murid adalah manusia, ia bukanlah robot yang terbuat dari bahan-bahan mekanik yang mudah di-setting untuk mengerjakan perintah-perintah, diarahkan semaunnya dan sebagainya.Pendidikan adalah untuk manusia, begitu juga sekolah adalah sekolahnya manusia.
Jadi, lembaga pendidikan seharusnya mengantarkan kemauan atau cita-cita muridnya, bukan sebaliknya murid mengantarkan kemauan atau cita-cita sekolah. Pada akhirnya, semua murid yang masuk pada lembaganya, langsung di-make up lembaga untuk siap tanding melawan pesaing-pesaing dari lembaga pendidikan lainnya atau untuk menjadi jagoan di bidang mata pelajatan agar citra lembaga pendidikan terangkat.
Boleh saja suatu lembaga memiliki cita-cita seperti itu, namun yang patut diketahui oleh pengelola lembaga bahwa lembaga pendidikan harus dapat memberikan konstribusi dalam menghantarkan cita-cita muridnya. Sebab, tidak semuanya murid dapat nyaman dan bisa untuk menuruti kemauan lembaga.Sudahkah kita memahami karakter seorang murid kita?
Otoritas seorang guru memaksakan murid untuk menjadi pandai adalah kewajiban ke nomor sekian, melainkan kewajiban seorang guru adalah bagaimana guru dapat menyampaikan pengetahuannya dengan baik, sehingga murid yang mereka hadapi memahami pelajaran-pelajaran yang ia sampaikan.Seorang guru tidak selalu dibutuhkan, ia yang pandai dalam bidang keilmuan, ia yang juara semasa studinya dan lainya. Tetapi juga, guru harus bisa memandaikan, mencerdaskan dan mendewasakan muridnya. Tidak jarang, guru yang lulusan luar negeri dan berpengatahuan banyak tetapi ketika ia mengajar di sekolah tetap saja tidak disukai murid-muridnya, karena tidak dapat mengajar dengan baik.
Entah dengan sekarang, tapi bertahun-tahun lalu kita sering menemukan seorang anak yang berhenti sekolah gara-gara belum membayar uang bulanan sekolah. Itu terjadi di sekolah, lembaga yang bidang utamanya mengajar dan mendidik manusia. Maka, tidak mengherankan jika dari sekolah tersebut menghasilkan manusia-manusia yang ‘kejam’, tapi dibenarkan oleh prosedur.
Komputer dan robot adalah contoh benda-benda yang bisa melakukan segalanya sesuai prosedur, dan harus sesuai prosedur, karena keduanya diciptakan untuk itu. Maka, jika manusia dituntut harus selalu melakukan segalanya sesuai prosedur dan tidak boleh sedikitpun keluar dari prosedur tersebut, bukankah itu sebuah cara untuk menjadikan manusia sebagai benda.
Contoh sebuah prosedur yang baik, yang dapat kita temukan adalah prosedur shalat. Normalnya, shalat wajib dilakukan dengan berdiri. Akan tetapi, prosedur normal itu boleh dan malah dianjurkan untuk dilanggar jika seseorang dalam kondisi sakit, atau tidak mampu untuk melakukan shalat. Misalnya sambil duduk. Jika tidak mampu duduk, boleh berbaring. Anda juga boleh bertayammum dalam keadaan sakit atau dalam situasi tidak ada air sama sekali. Justru ketika seseorang tidak mampu, tapi memaksakan diri, maka orang tersebut wajib untuk diberi peringatan.Prosedur semacam itu, terus terang saja, sulit ditemukan.
Memanusiakan manusia berarti perilaku manusia untuk senantisa menghargai dan menghormati harkat & derajat manusia lainnya.Memanusiakan manusia adalah tidak menindas sesama,tidak menghardik,tidak bersifat kasar,tidak menyakiti,dan prilaku-prilaku lainnya.
Memanusiakan manusia berarti memanusiakan antarsesama,memanusiakan manusia menguntungkan bagi diri sendiri dan orang lain.Bagi diri sendiri menunjukan harga diri dan nilai luhur pribadinya sebagai manusia,bagi orang lain memberikan rasa percaya,hormat,kedamain,dan kesejahteraan hidup.Sebaliknya,sikap tidak manusiawi terhadap manusia lain hanya akan merendah kan harga diri dan martabatnya sebagai manusia yang sesungguhnya makhluk mulia.sedangkan bagi orang lain sebagai korban tindakan yang tidak manusiawi dan menciptakan penderitaan,kesusahan,ketakutan,maupun rasa dendam
Sejarah membuktikan bahwa perseteruan,pertentangan dan peperangan yang terjadi di berbagai belahan dunia karena manusia belum mampu memanusiakan manusia lain.Sikap dan perilaku manusia didasarkan atas prinsip kemanusiaan yang disebut the mankind is one.Prinsip kemanusiaan tidak membeda-bedakan kita dalam memperlakukan orang lain atas dasar warna kulit,suku,agama,ras,asal,dan status sosial ekonomi.Sebagai makhluk tuhan yang sama harkat dan martabat nya dihadapan Tuhan sudah selayaknya kita bersikap manusiawi terhadap orang lain,apapun latar belakangnya.
Manusia itu mahluk ciptaan-Nya yang unik. Karena diberikan kelebihan dari akal budinya, tapi juga memiliki kekurangan dibandingkan makhluk lainnya. Begitulah indahnya kehidupan. Dengan hanya mengandalkan otaknya, manusia bisa berdigdaya menundukkan alam ini. Manusia harus dimanusiakan. Seorang manusia berbeda antara satu dengan lainnya. Tidak ada yang sama persis. Oleh karenanya dalam menangani manusia terdapat aspek yang sifatnya “customized”, yang berbeda antara menangani satu orang dengan orang lain. Namun sekali lagi manusia adalah manusia. Disamping memiliki kekhasan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, terdapat pula kesamaan antara seorang manusia dengan manusia lain.
Setiap manusia ingin hidup nyaman, ingin dihargai, ingin dimengerti.Dalam konsep pengendalian, apabila kita berhasil memberikan apa yang diperlukan oleh orang-orang disekitar kita, maka orang-orang disekitar kita akan lebih mudah dan lebih merasa nyaman saat harus kita kendalikan. Dengan kata lain, karena manusia ingin hidup nyaman maka apabila kita berhasil memberikan kenyamanan, kita akan lebih mudah mengendalikan orang tersebut. Jadi, bila mereka ingin dihargai, maka berikan penghargaan. Mereka ingin dimengerti, maka berikan pengertian. Itu kiatnya. Berikan apa yang mereka inginkan, karena sebagian besar yang mereka inginkan sebetulnya kita mampu untuk memberikannya. Iman dan Takwa adalah buah kesadaran, keyakinan – yang mana sudah ada di dalam diri setiap manusia. Kesadaran itu, keyakinan itu hanya perlu diungkapkan. Dan, pengungkapan itu menjadi tugas Agama.
Kalau kita berhadapan dengan kekhasan orang, maka kita perlu memiliki soft skill untuk memahami orang per orang. Dari kebutuhan umum orang-orang disekitar kita yang dapat kita generalisasikan, ternyata ada prioritas yang berbeda antara satu dengan lainnya.
Sadar atau tidak, pendidikan selain untuk mencerdaskan bangsa, juga membatu untuk mendewasakan bangsa, sehingga bangsa bisa memiliki karakter yang berpendidikan moral. Secara mendasar, pendidikan ada, karena ada manusia. Oleh karena itu, pendidikan ada hanya untuk manusia, bukan untuk hewan atau sejenisnya. Hal mendasar seperti inilah yang perlu kita catat besar-besar di kepala kita, khususnya bagi mereka yang menjadi seorang guru. Sebab, kita sering kali melupakan bahwa orang yang menjadi amanat kita adalah manusia yang memiliki keragam dan keseragaman yang begitu kompleks.
Seperti yang telah kita singgung di atas.Manusia memiliki kekhasan tersendiri.Manusia yang satu berbeda dengan manusia yang lainnya.Namun pada saat sekarang,banyak sistem-sistem atau prosedur yang dibuat oleh manusia sendiri tetapi menjadikan manusia terbelenggu akan hal tersebut.
• Dalam Segi Pendidikan
Realita yang terjadi, murid dianggap sebagai sebuah robot. Murid yang masuk pada salah satu sekolah yang sudah memiliki visi, misi dan tujuan. Seketika itu, pemilik lembaga langsung men-set up semau lembaga mereka. Murid adalah manusia, ia bukanlah robot yang terbuat dari bahan-bahan mekanik yang mudah di-setting untuk mengerjakan perintah-perintah, diarahkan semaunnya dan sebagainya.Pendidikan adalah untuk manusia, begitu juga sekolah adalah sekolahnya manusia.
Jadi, lembaga pendidikan seharusnya mengantarkan kemauan atau cita-cita muridnya, bukan sebaliknya murid mengantarkan kemauan atau cita-cita sekolah. Pada akhirnya, semua murid yang masuk pada lembaganya, langsung di-make up lembaga untuk siap tanding melawan pesaing-pesaing dari lembaga pendidikan lainnya atau untuk menjadi jagoan di bidang mata pelajatan agar citra lembaga pendidikan terangkat.
Boleh saja suatu lembaga memiliki cita-cita seperti itu, namun yang patut diketahui oleh pengelola lembaga bahwa lembaga pendidikan harus dapat memberikan konstribusi dalam menghantarkan cita-cita muridnya. Sebab, tidak semuanya murid dapat nyaman dan bisa untuk menuruti kemauan lembaga.Sudahkah kita memahami karakter seorang murid kita?
Otoritas seorang guru memaksakan murid untuk menjadi pandai adalah kewajiban ke nomor sekian, melainkan kewajiban seorang guru adalah bagaimana guru dapat menyampaikan pengetahuannya dengan baik, sehingga murid yang mereka hadapi memahami pelajaran-pelajaran yang ia sampaikan.Seorang guru tidak selalu dibutuhkan, ia yang pandai dalam bidang keilmuan, ia yang juara semasa studinya dan lainya. Tetapi juga, guru harus bisa memandaikan, mencerdaskan dan mendewasakan muridnya. Tidak jarang, guru yang lulusan luar negeri dan berpengatahuan banyak tetapi ketika ia mengajar di sekolah tetap saja tidak disukai murid-muridnya, karena tidak dapat mengajar dengan baik.
Entah dengan sekarang, tapi bertahun-tahun lalu kita sering menemukan seorang anak yang berhenti sekolah gara-gara belum membayar uang bulanan sekolah. Itu terjadi di sekolah, lembaga yang bidang utamanya mengajar dan mendidik manusia. Maka, tidak mengherankan jika dari sekolah tersebut menghasilkan manusia-manusia yang ‘kejam’, tapi dibenarkan oleh prosedur.
Komputer dan robot adalah contoh benda-benda yang bisa melakukan segalanya sesuai prosedur, dan harus sesuai prosedur, karena keduanya diciptakan untuk itu. Maka, jika manusia dituntut harus selalu melakukan segalanya sesuai prosedur dan tidak boleh sedikitpun keluar dari prosedur tersebut, bukankah itu sebuah cara untuk menjadikan manusia sebagai benda.
Contoh sebuah prosedur yang baik, yang dapat kita temukan adalah prosedur shalat. Normalnya, shalat wajib dilakukan dengan berdiri. Akan tetapi, prosedur normal itu boleh dan malah dianjurkan untuk dilanggar jika seseorang dalam kondisi sakit, atau tidak mampu untuk melakukan shalat. Misalnya sambil duduk. Jika tidak mampu duduk, boleh berbaring. Anda juga boleh bertayammum dalam keadaan sakit atau dalam situasi tidak ada air sama sekali. Justru ketika seseorang tidak mampu, tapi memaksakan diri, maka orang tersebut wajib untuk diberi peringatan.Prosedur semacam itu, terus terang saja, sulit ditemukan.
seperti
apakah manusia itu semestinya?
Yang pertama,
setiap manusia itu dibentuk ataupun dibekali oleh pendidikan agar dapat
merasakan kemerdekaan dirinya. Merdeka berarti kebebasan. Jadi melalui
pendidikan kita dididik agar kita menjadi individu yang bisa “melawan”
terhadap penindasan yang dialaminya. Yang kedua, kita didik agar menjadi
manusia yang memiliki akal budi, yang mampu membedakan mana yang benar maupun
yang salah, yang berani memperjuangkan kebenaran apapun risikonya.
Manusiawi mempunyai arti memperlakukan seseorang itu seperti memperlakukan diri sendiri. Jadi disini kita tidak boleh membedakan seseorang itu berdasarkan golongannya, status sosialnya, maupun keterbatasannya dan hal-hal lain yang dapat menciptakan perbedaan bagi sesama manusia. Karena setiap manusia itu mempunyai hak asasi yang sama, yang sudah melekat sebelum manusia itu dilahirkan. Dan juga manusia itu adalah makhluk sosial yang saling memiliki ketergantungan satu sama lain. Yang hidup berdampingan dan hidup saling melengkapi.
Melihat keterangan tersebut maka dapat kita bayangkan betapa indahnya manusia itu diciptakan Sang Pencipta. Namun manusia itu sendirilah yang membuat hidupnya tidak manusiawi karena keserakahan, dan menyalahgunakan kehendak bebas yang telah diberikan oleh Allah.
Manusiawi mempunyai arti memperlakukan seseorang itu seperti memperlakukan diri sendiri. Jadi disini kita tidak boleh membedakan seseorang itu berdasarkan golongannya, status sosialnya, maupun keterbatasannya dan hal-hal lain yang dapat menciptakan perbedaan bagi sesama manusia. Karena setiap manusia itu mempunyai hak asasi yang sama, yang sudah melekat sebelum manusia itu dilahirkan. Dan juga manusia itu adalah makhluk sosial yang saling memiliki ketergantungan satu sama lain. Yang hidup berdampingan dan hidup saling melengkapi.
Melihat keterangan tersebut maka dapat kita bayangkan betapa indahnya manusia itu diciptakan Sang Pencipta. Namun manusia itu sendirilah yang membuat hidupnya tidak manusiawi karena keserakahan, dan menyalahgunakan kehendak bebas yang telah diberikan oleh Allah.
Pendidikan yang masih “Memintarkan”
belum “Memanusiakan”
Pendidikan adalah proses pendewasaan anak didik agar mampu
menjalani kehidupan pada zamannya, sehingga dunia pendidikan harus melahirkan
sikap insan cendekia. Tanpa sikap cendekia dan semangat intelektualitas maka
pendidikan hanya akan menghasilkan orang-orang cacat moral. Jika suatu bangsa
mengalami kebobrokan berarti ada yang tidak beres dalam proses pendidikan.
Filosofi semangat pendidikan adalah memanusiakan manusia, bukan memintarkan
manusia. Itulah beberapa pernyataan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Mahfud MD
dalam acara syawalan 1433 H di Auditorium Universitas Negeri Yogyakarta.
Menarik menyikapi hal tersebut, karena selain mengungkap
harapan besar terhadap dunia pendidikan tetapi juga mengkritisi keadaan dunia
pendidikan yang seolah-olah menjadi tersangka utama dalam “kebelumberhasilan”
memanusiakan manusia Indonesia walaupun sudah bisa dikatakan “berhasil” dalam
memintarkan manusia Indonesia.
Bukti bahwa pendidikan kita saat ini “sudah” berhasil dalam
memintarkan manusia tolak ukurnya mudah yaitu dengan melihat tingkat kelulusan
ujian akhir nasional peserta didik. Jika tingkat kelulusan ujian akhir nasional
di suatu daerah tinggi maka bisa dikatakan bahwa pendidikan telah mampu
memintarkan peserta didik. Semakin banyak peserta didik yang lulus maka semakin
“berhasil” pendidikan dalam memintarkan peserta didik. Tetapi apakah dengan
kemampuan memintarkan peserta didik tersebut pendidikan juga telah mampu
memanusiakan peserta didik? Tolak ukurnyapun tidak terlalu sulit yaitu dengan
melihat sikap peserta didik. Saat bertemu dengan orang yang lebih tua apakah
peserta didik bersikap sopan dan santun? Apakah peserta didik dalam berkendara
sudah mematuhi peraturan lalu lintas? Apakah peserta didik menghormati
keragaman suku, adat, ras dan agama? Apakah peserta didik malu saat melakukan
tindakan yang bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat? semua
pertanyaan tersebut akan mengarah kepada jawaban bahwa dunia pendidikan kita
sudah mampu memanusiakan manusia atau belum. Tentu semua dari kita bisa menjawabnya
dengan argumentasi berbeda-beda.
Terkait atau tidak terkait dengan kemampuan dunia pendidikan
dalam memintarkan ataupun memanusiakan peserta didik, tentu kita tidak boleh
memvonis bahwa dunia pendidikan yang harus bertanggung jawab terhadap kebobrokan
bangsa saat ini. Apalagi menyalahkan pendidik sebagai “ikon” dunia pendidikan.
Segenap elemen bangsa bertanggungjawab terhadap ketidakberhasilan pendidikan
kita dalam memanusiakan peserta didik. Pemerintah dalam hal ini adalah
kementerian pendidikan nasional juga bertanggungjawab karena sebagai komando
tertinggi arah kebijakan pendidikan seakan “hanya” mengeluarkan kebijakan
dengan sedikit realisasi dan kontrol atas kebijakan tersebut.
Pendidikan karakter yang digaungkan dan menjadi angin surga
akan terciptanya pendidikan yang mampu memanusiakan peserta didik sampai saat
ini pelaksanaan di lapangan hanya terbatas pada rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) yang dimiliki guru. Sedangkan tahap pelaksanaan masih sangat
jauh dari yang diharapkan. Hal ini terjadi karena selain guru diharapkan
menanamkan pendidikan karakter pada peserta didik tetapi dilain pihak guru juga
harus membelajarkan materi pembelajaran yang mana materi tersebut begitu
banyak. Sehingga yang terjadi guru hanya terfokus pada penyampaian materi
pembelajaran karena materi itulah yang akan diujikan nantinya di ujian akhir
nasional, sedangkan pendidikan karakter yang sebenarnya justru menjadi target
pendidikan malah dikesampingkan sehingga sampai saat ini pendidikan hanya mampu
memintarkan peserta didik tapi belum mampu memanusiakan peserta didik.
Jika memang ingin pendidikan yang memintarkan sekaligus
memanusiakan peserta didik, maka cara yang paling efektif dan efisien adalah
dengan menghapuskan ujian akhir nasional, sehingga para guru akan
bertanggungjawab penuh terhadap “output sikap” peserta didik yang pada akhirnya
juga akan berimbas kepada “output nilai” peserta didik, bukan sebaliknya. Nilai
bukanlah patokan “dimilikinya ilmu”, tetapi proses dalam belajar itulah yang
seharusnya menjadi acuan utama. Selama sistem ujian akhir nasional kita anut
maka yang “dikejar” bukanlah ilmu lagi
tetapi nilai. Dan jika hal ini sudah terjadi maka jangan harap pendidikan
karakter yang didambakan akan terwujud.
Perbedaan fasilitas yang dimiliki oleh sekolah juga menjadi
pemicu kekurangberhasilan pendidikan
dalam memintarkan maupun memanusiakan peserta didik. Beban sekolah dengan
fasilitas kurang memadai tentu lebih berat dibanding sekolah dengan fasilitas yang
lebih memadai. Fasilitas pembelajaran yang dimiliki sekolah dengan kurikulum
pendidikan saat ini ibarat “kelas ringan” melawan “kelas berat”. Pendidik
dengan fasilitas pembelajaran terbatas tentu harus berpikir ekstra dalam
merencanakan pembelajaran karena materi yang harus disampaikan sangat banyak
dan berat bagi peserta didik.
Masyarakat sebagai lingkungan terlama peserta didik
beraktivitas juga memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan atau
kekurangberhasilan pendidikan dalam memanusiakan peserta didik. Di lingkungan
masyarakat peserta didik melihat langsung teladan dari orang-orang yang
dikenalnya. Sebaik apapun pembelajaran karakter yang dilakukan di sekolah
tetapi jika lingkungan masyarakat kurang mendukung dalam meneladankan karakter
maka yang akan dipahami dan ditiru peserta didik tentulah yang dicontohkan warga
masyarakat.
Melihat betapa urgentnya
peran pemerintah, pendidik dan masyarakat dalam usaha memintarkan dan
memanusiakan peserta didik maka kerjasama ketiga pihak sangat diharapkan,
sehingga cita-cita pendidikan untuk menghasilkan peserta didik yang mumpuni
dalam segi ilmu dan moral dapat tercapai. Semoga!
Sumber (Muhammad Syamsuri, M.Pd
Guru SMPN 4 Kintap, http://spiritscienceeducation.blogspot.com/2012/09/pendidikan-yang-masih-memintarkan-belum.html)
5W+1H PENDIDIKAN
1.
WHATà apa itu Pendidikan ?
a.
Menurut Ki Hajar Dewantara (Bapak
Pendidikan Nasional Indonesia) menjelaskan tentang pengertian
pendidikan yaitu: Pendidikan yaitu tuntutan di
dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun
segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia
dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginya.
b.
Pendidikan
adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
c.
Menurut UU No. 20 tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
d.
Sedangkan pengertian
pendidikan menurut H. Horne, adalah proses
yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk
manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar
kepada vtuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional
dan kemanusiaan dari manusia.
e.
Dari beberapa pengertian
pendidikan menurut ahli
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Pendidikan adalah Bimbingan atau
pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk
mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap melaksanakan tugas
hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain.
2.
WHO--à Siapa Pendidik itu?
Dari segi bahasa pendidik adalah orang
yang mendidik. Dari segi istilah merupakan profesi atau keahlian tertentu yang
melekat pada seseorang yang tugasnya berkaitan dengan pendidikan.
Istilah pendidik dalam beberapa literatur kependidikan
sering diwakili oleh istilah guru. Guru sebagai orang yang kerjanya mengajar /
memberikan pengajaran di sekolah / kelas. Artinya, guru bekerja dalam
pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam membantu anak –
anak mencapai kedewasaan masing – masing. Guru tidak hanya menyampaikan materi
pengetahuan tertentu, tetapi ikut aktif serta kreatif dalam mengarahkan
perkembangan anak didiknya untuk menjadi anggota masyarakat sebagai orang
dewasa. Dari sini, kita bisa pahami bahwa kedudukan seorang guru sangat penting
dalam proses pendidikan karena dia bertanggungjawab dan menentukan arah
pendidikan dalam rangka mencetak generasi bangsa yang unggul disegala bidang.
Hasan Fahmi mengutip salah satu ucapan seorang penyair zaman
modern, yang berkenaan dengan kedudukan guru. Syair tersebut artinya “Berdirilah
kamu seorang guru dan hormatilah dia”. Seorang guru itu hampir mendekati
kedudukan seorang rasul, yaitu menempati urutan kedua sesudah martabat Rasul
Siapa peserta didik itu?
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan
potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu.
Sumber
(wikipedia Bahasa Indonesia)
peserta
didik adalah komponen masukan dalam sistem pendidikan, yang
selanjutnya diproses dalam proses pendidikan, sehingga
menjadi manusia yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Sebagai suatu komponen pendidikan peserta
didik dapat ditinjau dari berbagai pendekatan, antara lain:
pendekatan social, pendekatan psikologis, dan pendekatan edukatif/paedagogis.
1. Pendekatan
sosial, peserta didik adalah anggota masyarakat yang sedang disiapkan
untuk menjadi anggota masyarakat yang lebih baik. Sebagai anggota masyarakat,
dia berada dalam lingkungan keluarga, masyarakat sekitarnya, dan masyarakat
yang lebih luas. Peserta didik perlu disiapkan agar pada waktunya mampu
melaksanakan perannya dalam dunia kerja dan dapat menyesuaikan diri dari
masyarakat. Kehidupan bermasyarakat itu dimulai dari lingkungan keluarga dan
dilanjutkan di dalam lingkungan masyarakat sekolah. Dalam konteks inilah, peserta didik melakukan interaksi
dengan rekan sesamanya, guru-guru, dan masyarakat yang berhubungan dengan
sekolah. Dalam situasi inilah nilai-nilai social yang terbaik
dapat ditanamkan secara bertahap melalui proses pembelajaran dan pengalaman
langsung.
2. Pendekatan Psikologis,
peserta didik adalah suatu organisme yang sedang tumbuh dan berkembang. Peserta
didik memiliki berbagai potensi manusiawi, seperti: bakat, inat,
kebutuhan, social-emosional-personal, dan kemampuan jasmaniah. Potensi-potensi
itu perlu dikembangkan melalui proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah,
sehingga terjadi perkembangan secara menyeluruh menjadi manusia seutuhnya.
Perkembangan menggambarkan perubahan kualitas dan abilitas dalam diri
seseorang, yakni adanya perubahan dalam struktur, kapasitas, fungsi, dan
efisiensi. Perkembangan itu bersifat keseluruhan, misalnya perkembangan
intelegensi, sosial, emosional, spiritual, yang saling berhubungan satu dengan
lainnya.
3. Pendekatan
edukatif/paedagogis, pendekatan pendidikan menempatkan peserta didiksebagai
unsur penting, yang memiliki hak dan kewajiban dalam rangka sistem pendidikan
menyeluruh dan terpadu.
3. WHYàMengapa Pendidikan Penting?
Beberapa hari yang lalu, saat saya berada
diperjalanan dari rumah saya di cikutra ke kampus di ledeng (saya suka
memikirkan banyak hal secara acak ketika berada di kendaraan), pikiran saya
memunculkan pertanyaan yang sangat sederhana tapi penting: mengapa pendidikan
penting?
Mewariskan kebudayaan
Saya teringat salah satu mata kuliah landasan
pendidikan yang saya ambil tahun kemarin. Salah satu esensi terpenting
pendidikan adalah memanusiakan manusia. Pendidikan diciptakan
untuk memanusiakan manusia. Yang membedakan manusia dan bukan
manusia adalah keberbudayaannya. Pendidikan diciptakan untuk mewariskan
kebudayaan terdahulu agar generasi berikutnya mendapatkan kebajikan generasi
terdahulu sehingga mereka memulai start di garis finish generasi terdahulu yang
memungkinkan mereka mencapai apa yang belum sempat dicapai oleh generasi
terdahulu.
Dengan itulah mereka menjadi manusia, manusia yang
lebih baik. Dengan memiliki kebudayaan, dan menciptakan kebudayaan yang lebih
baik.
Cepat atau lambat, kita semua akan mati
ini adalah poin yang membuat saya tersadar: tidak
perduli sehebat apa anda sekarang, anda (dan kita semua) memiliki batas bernama
kematian. Saya teringat kelas language in society yang
saya ambil semester ini: Satu bahasa mati ketika tidak ada lagi pembicara /
pengguna bahasa bahasa tersebut. Ketika generasi sunda setelah saya lebih
memilih berbicara bahasa indonesia alih-alih berbahasa sunda dan semua
pembicara bahasa sunda dari generasi saya keatas sudah habis (red: wafat), bahasa
sunda juga turut habis riwayatnya.
Berfikir “terbuka”
Jika memang pendidikan sepenting itu, apa yang
harus kita lakukan untuk menyikapinya? kita mungkin bukan penentu kebijakan
atau pelaksana pendidikan seperti guru / dosen / dll, tapi ada banyak hal yang
dapat kita lakukan. Hal paling sederhana tapi luar biasa bermanfaat adalah
berbagi apa yang kita ketahui. Saya pribadi percaya bahwa berbagi
atau bertukar pikiran atau menyampaikan pemikiran adalah rantai pendidikan yang
paling sederhana dan paling efisien. Pikirkan mana yang lebih
anda ingat: ceramah dosen di kelas 3 SKS yang panjang dan membosankan atau
diskusi penuh ide segar dari kolega anda?
Mungkin beberapa dari kita merasa terancam dengan
berbagi apa yang kita ketahui karena apa yang kita ketahui merupakan ‘kunci’
untuk mendapatkan penghasilan. Era keterbukaan sudah ada di
depan mata (industri yang sudah merasakan epidemi-nya adalah industri web yang
bahkan harus terbuka dan menciptakan peluang untuk pihak ketiga untuk
berkolaborasi agar bertahan. Contoh: twitter) dan kelak
informasi-informasi termasuk apa yang anda ketahui bisa diakses oleh semua
orang. Apakah masih ada secret ingredient itu?
Beberapa dari kita mungkin merasa ‘malas’ atau
‘tidak punya cukup waktu’ untuk berbagi. Coba pikirkan sejenak: ketika usia
anda makin senja dan anda tidak lagi cukup tanggap terhadap perubahan, apa yang
akan terjadi? Berbagi pasti menciptakan timbal balik karena ada pihak lain yang
mendapatkan manfaat dari anda sehingga menciptakan rangkaian kejadian yang
ujungnya akan menguntungkan anda. Mungkin ini adalah alasan logis mengapa giving
is the only way for receiving.
4.
WHEN --à
Kapan Pendidikan Berlangsung?
Pendidikan
berlangsung kapanpun, karena mnengingat kebutuhan manusia terhadap pendidikan
itu sendiri sangatlah tinggi. Untuk memperoleh pendidikan tidak ada keharusan
bagi seseorang untuk menunggu masa dewasa atau masa mereka memiliki kemampuan.
Akan tetapi pendidikan itu berlangsung selama seseorang mengerti tentang
manfaat dan fungsi pendidikan itu.
5.
WHERE -à
Dimana Pendidikan Berlangsung?
Pendidikan
bisa berlangsung dimana saja tanpa harus menuntut diri untuk bisa masuk di
lembaga pendidikan formal. Pendidikan dapat berlangsung mulai dari rumah kita
bersama para anggota keluarga, sampai pada perguruan tinggi. Bagi seseorang
yang tidak memiliki kecukupan secara finansial pun, tetap memiliki kewajiban
untuk menempuh pendidikan meskipun tempat pendidikan mereka hanyalah berupa
tempat yang semi formal atau bahkan tidak formal sama sekali.
ASAS-ASAS PENDIDIKAN
1.
TUT WURI HANDAYANI
Makna
dan arti Tut Wuri Handayani – Ing Ngarso Sun Tulodo – Ing Madyo Mangun Karso,
Terdiri dari 3 kalimat ungkapan atau slogan yang dibut oleh bapak pendidikan
kita sekaligus Pahlawan nasional Ki Hajar Dewantara. Kalimat ini sering kita
dengar pada waktu sekolah atau bisa dilihat pada sebuah gambar/logo Tut wuri
Handayani. Meski kalimat ini terlihat sederhana sebenarnya tersimpan makna
mendalam sebagai sebuah ungkapan penting dari sebuah keteladanan bagi seorang pendidik
atau pemimpin baik moral maupun semangat bagi anak didiknya. 1 Logo Tut Wuri
Handayani Warna Makna Semboyan Tut wuri handayani Semboyan “Tut wuri
handayani”, atau aslinya: ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut
wuri handayani. Arti dari semboyan ini adalah: tut wuri handayani (dari
belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya
mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa
dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi
teladan atau contoh tindakan yang baik). Sehingga Tercipta kalimat : Di Depan,
Seorang Pendidik harus memberi Teladan atau Contoh Tindakan Yang Baik, Di
tengah atau di antara Murid, Guru harus menciptakan prakarsa dan ide, Dari belakang
Seorang Guru harus Memberikan dorongan dan Arahan.
Read more at http://uniqpost.com/7525/makna-semboyan-tut-wuri-handayani/
Read more at http://uniqpost.com/7525/makna-semboyan-tut-wuri-handayani/
2.
BELAJAR SEPANJANG HAYAT
Belajar sepanjang hayat adalah suatu konsep, suatu idea, gagasan
pokok dalam konsep ini ialah bahwa belajar itu tidak hanya berlangsung di
lembaga-lembaga pendidikan formal seseorang masih dapat memperoleh pengetahuan
kalau ia mau, setelah ia selesai mengikuti pendidikan di suatu lembaga
pendidikan formal. Ditekankan pula bahwa belajar dalam arti sebenarnya adalah
sesuatu yang berlangsung sepanjang kehidupan seseorang. Bedasarkan idea
tersebut konsep belajar sepanjang hayat sering pula dikatakan sebagai belajar
berkesinambungan (continuing learning). Dengan terus menerus belajar, seseorang
tidak akan ketinggalan zaman dan dapat memperbaharui pengetahuannya, terutama
bagi mereka yang sudah berusia lanjut. Dengan pengetahuan yang selalu
diperbaharui ini, mereka tidak akan terasing dan generasi muda, mereka tidak
akan menjadi snile atau pikun secara dini, dan tetap dapat memberikan
sumbangannya bagi kehidupan di lingkungannya1. Belajar erat kaitannya
dengan psikologi. Dalam hal ini, Made Pidarta mengemukakan : psikologi atau
jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa manusia. Jiwa itu sendiri adalah roh
dalam mengendalikan jasmani. Karena itu jiwa atau psikis dapat dikatakan inti
dan kendali kehidupan manusia yang berada dan melekat dalam diri manusia itu
sendiri.2
Jiwa manusia berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani, sejak dari masa bayi, kanak-kanak dan seterusnya sampai dewasa dan masa tuã. Makin besar anak itu makin berkembang pula jiwanya. Dengan melalui tahap-tahap tertentu dan akhimya anak ito mencapai kedewasaan balk dari segi kejiwaan maupun dari segi jasmani.
Dalam perkembangan jiwa dan jasmani tersebut, manusia perlu belajar. Masa belajar itu bertingkat-tingkat, sejalan dengan fase-fase perkembangannya, sejak masa kanak-kanak sampai masa tua. Dan sini dapat dipahami bahwa belajar merupakan kebutuhan sebagai bekal untuk menempuh kehidupan disepanjang hayatnya.
Melalui pembahasan ini dimaksudkan untuk lebih memahami hakekat belajar dan bagaimana memberikan motivasi bahwa belajar itu sebenarnya berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan sejak dari buaian sampai hang lahat.
Jiwa manusia berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani, sejak dari masa bayi, kanak-kanak dan seterusnya sampai dewasa dan masa tuã. Makin besar anak itu makin berkembang pula jiwanya. Dengan melalui tahap-tahap tertentu dan akhimya anak ito mencapai kedewasaan balk dari segi kejiwaan maupun dari segi jasmani.
Dalam perkembangan jiwa dan jasmani tersebut, manusia perlu belajar. Masa belajar itu bertingkat-tingkat, sejalan dengan fase-fase perkembangannya, sejak masa kanak-kanak sampai masa tua. Dan sini dapat dipahami bahwa belajar merupakan kebutuhan sebagai bekal untuk menempuh kehidupan disepanjang hayatnya.
Melalui pembahasan ini dimaksudkan untuk lebih memahami hakekat belajar dan bagaimana memberikan motivasi bahwa belajar itu sebenarnya berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan sejak dari buaian sampai hang lahat.
3.
KEMANDIRIAN DALAM BELAJAR
kemandirian belajar
Konsep
Belajar Mandiri (Self-directed Learning) sebenarnya berakar dari konsep
pendidikan orang dewasa. Namun demikian berdasarkan beberapa penelitian yang
dilakukan oleh para ahli seperti Garrison tahun 1997, Schillereff tahun 2001,
dan Scheidet tahun 2003 ternyata belajar mandiri juga cocok untuk semua
tingkatan usia. Dengan kata lain, belajar mandiri sesuai untuk semua jenjang
sekolah baik untuk sekolah menengah maupun sekolah dasar dalam rangka
meningkatkan prestasi dan kemampuan siswa
(http://www.nwrel.org/planing/reports/self-direct/index.php )
Pengertian
tantang belajar mandiri sampai saat ini belum ada kesepakatan dari para ahli.
Ada beberapa variasi pengertian belajar mandiri yang diutarakan oleh para ahli
seperti dipaparkan Abdullah(2001:1-4)sebagaiberikut:
1. Belajar Mandiri memandang siswa sebagai para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses pelajaran mereka sendiri. Belajar Mandiri mengintegrasikan self-management ( manajemen konteks, menentukan setting, sumber daya, dan tindakan) dengan self-monitoring (siswa memonitor, mengevaluasi dan mengatur strategi belajarnya) (Bolhuis; Garrison).
2. Peran kemauan dan motivasi dalam Belajar Mandiri sangat penting di dalam memulai dan memelihara usaha siswa. Motivasi memandu dalam mengambil keputusan, dan kemauan menopang kehendak untuk menyelami suatu tugas sedemikian sehingga tujuan dapat dicapai (Corno; Garrison).
3. Di dalam belajar mandiri, kendali secara berangsur-angsur bergeser dari para guru ke siswa. Siswa mempunyai banyak kebebasan untuk memutuskan pelajaran apa dan tujuan apa yang hendak dicapai dan bermanfaat baginya (Lyman; Morrow, Sharkey, & Firestone).
4. Belajar Mandiri “ironisnya” justru sangat kolaboratif. Siswa bekerja sama dengan para guru dan siswa lainnya di dalam kelas (Bolhuis; Corno; Leal).
5. Belajar Mandiri mengembangkan pengetahuan yang lebih spesifik seperti halnya kemampuan untuk mentransfer pengetahuan konseptual ke situasi baru. Upaya untuk menghilangkan pemisah antara pengetahuan di sekolah dengan permasalahan hidup sehari-hari di dunia nyata (Bolhuis; Temple & Rodero).
1. Belajar Mandiri memandang siswa sebagai para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses pelajaran mereka sendiri. Belajar Mandiri mengintegrasikan self-management ( manajemen konteks, menentukan setting, sumber daya, dan tindakan) dengan self-monitoring (siswa memonitor, mengevaluasi dan mengatur strategi belajarnya) (Bolhuis; Garrison).
2. Peran kemauan dan motivasi dalam Belajar Mandiri sangat penting di dalam memulai dan memelihara usaha siswa. Motivasi memandu dalam mengambil keputusan, dan kemauan menopang kehendak untuk menyelami suatu tugas sedemikian sehingga tujuan dapat dicapai (Corno; Garrison).
3. Di dalam belajar mandiri, kendali secara berangsur-angsur bergeser dari para guru ke siswa. Siswa mempunyai banyak kebebasan untuk memutuskan pelajaran apa dan tujuan apa yang hendak dicapai dan bermanfaat baginya (Lyman; Morrow, Sharkey, & Firestone).
4. Belajar Mandiri “ironisnya” justru sangat kolaboratif. Siswa bekerja sama dengan para guru dan siswa lainnya di dalam kelas (Bolhuis; Corno; Leal).
5. Belajar Mandiri mengembangkan pengetahuan yang lebih spesifik seperti halnya kemampuan untuk mentransfer pengetahuan konseptual ke situasi baru. Upaya untuk menghilangkan pemisah antara pengetahuan di sekolah dengan permasalahan hidup sehari-hari di dunia nyata (Bolhuis; Temple & Rodero).
Jika
para ahli di atas memberi makna tentang belajar mandiri secara
sepotong-sepotong, maka Haris Mujiman (2005:1) mencoba memberikan pengertian
belajar mandiri dengan lebih lengkap. Menurutnya belajar mandiri adalah
kegiatan belajar aktif, yang didorong oleh niat atau motif untuk menguasai
suatu kompetensi guna mengatasi suatu masalah, dan dibangun dengan bekal
pengetahuan atau kompetensi yang dimiliki. Penetapan kompetensi sebagai tujuan
belajar, dan cara pencapaiannya – baik penetapan waktu belajar, tempat belajar,
irama belajar, tempo belajar, cara belajar, maupun evaluasi belajar – dilakukan
oleh siswa sendiri. Di sini belajar mandiri lebih dimaknai sebagai usaha siswa
untuk melakukan kegiatan belajar yang didasari oleh niatnya untuk menguasai
suatu kompetensi tertentu.
Pengertian
belajar mandiri yang lebih terinci lagi disampaikan oleh Hiemstra (1994:1) yang
mendeskripsikan belajar mandiri sebagai berikut:
1. Setiap individu siswa berusaha meningkatkan tanggung jawab untuk mengambil berbagai keputusan dalam usaha belajarnya.
2. Belajar mandiri dipandang sebagai suatu sifat yang sudah ada pada setiap orang dan situasi pembelajaran;
3. Belajar mandiri bukan berarti memisahkan diri dengan orang lain;
4. Dengan belajar mandiri, siswa dapat mentransfer hasil belajarnya yang berupa pengetahuan dan keterampilan ke dalam situasi yang lain.
5. Siswa yang melakukan belajar mandiri dapat melibatkan berbagai sumber daya dan aktivitas, seperti: membaca sendiri, belajar kelompok, latihan-latihan, dialog elektronik, dan kegiatan korespondensi.
6. Peran efektif guru dalam belajar mandiri masih dimungkinkan, seperti dialog dengan siswa, pencarian sumber, mengevaluasi hasil, dan memberi gagasan-gagasan kreatif.
7. Beberapa institusi pendidikan sedang mengembangkan belajar mandiri menjadi program yang lebih terbuka (seperti Universitas Terbuka) sebagai alternatif pembelajaran yang bersifat individual dan program-program inovatif lainnya.
1. Setiap individu siswa berusaha meningkatkan tanggung jawab untuk mengambil berbagai keputusan dalam usaha belajarnya.
2. Belajar mandiri dipandang sebagai suatu sifat yang sudah ada pada setiap orang dan situasi pembelajaran;
3. Belajar mandiri bukan berarti memisahkan diri dengan orang lain;
4. Dengan belajar mandiri, siswa dapat mentransfer hasil belajarnya yang berupa pengetahuan dan keterampilan ke dalam situasi yang lain.
5. Siswa yang melakukan belajar mandiri dapat melibatkan berbagai sumber daya dan aktivitas, seperti: membaca sendiri, belajar kelompok, latihan-latihan, dialog elektronik, dan kegiatan korespondensi.
6. Peran efektif guru dalam belajar mandiri masih dimungkinkan, seperti dialog dengan siswa, pencarian sumber, mengevaluasi hasil, dan memberi gagasan-gagasan kreatif.
7. Beberapa institusi pendidikan sedang mengembangkan belajar mandiri menjadi program yang lebih terbuka (seperti Universitas Terbuka) sebagai alternatif pembelajaran yang bersifat individual dan program-program inovatif lainnya.
Berdasarkan
beberapa pendapat para ahli dan beberapa pertimbangan di atas, maka belajar
mandiri dapat diartikan sebagai usaha individu untuk melakukan kegiatan belajar
secara sendirian maupun dengan bantuan orang lain berdasarkan motivasinya
sendiri untuk menguasai suatu materi dan atau kompetensi tertentu sehingga
dapat digunakannya untuk memecahkan masalah yang dijumpainya di dunia nyata.
Self-directed learning adalah kegiatan belajar mandiri, sedangkan orang yang melakukan kegiatan belajar mandiri sering disebut siswa mandiri (self-directed learners). Abdullah, M.H (2001) dalam ERIC digest No. 169 mengatakan self-directed learners adalah sebagai “para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses pembelajaran yang mereka lakukan sendiri”. Individu seperti itu mempunyai keterampilan untuk mengakses dan memproses informasi yang mereka perlukan untuk suatu tujuan tertentu. Dalam belajar mandiri mengintegrasikan self-management ( manajemen konteks termasuk latar belakang social, menentukan, sumber daya dan tindakan) dengan yang self-monitoring ( proses siswa dalam memonitor, mengevaluasi, dan mengatur strategi belajarnya).
Self-directed learning adalah kegiatan belajar mandiri, sedangkan orang yang melakukan kegiatan belajar mandiri sering disebut siswa mandiri (self-directed learners). Abdullah, M.H (2001) dalam ERIC digest No. 169 mengatakan self-directed learners adalah sebagai “para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses pembelajaran yang mereka lakukan sendiri”. Individu seperti itu mempunyai keterampilan untuk mengakses dan memproses informasi yang mereka perlukan untuk suatu tujuan tertentu. Dalam belajar mandiri mengintegrasikan self-management ( manajemen konteks termasuk latar belakang social, menentukan, sumber daya dan tindakan) dengan yang self-monitoring ( proses siswa dalam memonitor, mengevaluasi, dan mengatur strategi belajarnya).
Disusun
oleh Indra Hidayat
Prodi
BSI sem I Kelas B
N0
56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar