Selasa, 06 November 2012

MAKNA WAWASAN PENDIDIKAN , ASAS-ASAS PENDIDIKAN DAN UNSUR 5W+1H DALAM PENDIDIKAN


kawan-kawan, saya cukup lelah mengumpulkan artikel ini dari berbagai sumber... tapi tidak mengapa, saya senang bisa menyelesaikannya dan bisa kalian baca... makasih ya dah berkunjung ke blog ku.... :)
 


WAWASAN PENDIDIKAN, MEMANUSIAKAN MANUSIA
http://3.bp.blogspot.com/-69y1NIyNmdM/TYaw_wWLaZI/AAAAAAAAAzY/-HDkQOZb8rc/s1600/pendidikan.jpg
Apakah itu wawasan kependidikan?
wawasan kependidikan adalah pengetahuan yang harus dimiliki oleh para pendidik maupun calon pendidik tentang bagaimana memanusiakan manusia.
Educational horizon (wawasan kependidikan) is the way you perceive education today and how it will go in the future – for the better or worse. More importantly – how you are going to move to a better education.
“Wawasan kependidikan adalah bagaimana kamu (kita) melihat pendidikan sekarang ini dan bagaimana kelanjutannya dimasa mendatang- menjadi lebih baik maupun lebih buruk. Yang lebih penting lagi- bagaimana kamu (kita) akan bergerak maju untuk pendidikan yang lebih baik.”
Pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan
Dalam berbagai sumber tulisan tentang pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Menurut Kihajar Dewantara mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan.

Ki Hajar Dewantara juga pernah mengatakan : “Pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya lahir, sedang merdekanya hidup batin itu terdapat dari pendidikan.“Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnya lahir atau batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri.“Maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk perikehidupan bersama ialah memerdekakan manusia sebagai anggota dari persatuan.

Memanusiakan Manusia Melalui Konsep-Konsep Dasar Manusia


Manusia tidak hanya sebatas menjadi homo,tetapi harus meningkatkan diri menjadi human.Manusia harus memiliki prinsip,nilai,dan rasa kemanusiaan yng melekat pada diri nya.Manusia memiliki akal budi yang bisa memunculkan rasa atau prikemanusiaan.Prikemanusiaan inilah yang mendorong prilaku baik sebagai manusia.

Memanusiakan manusia berarti perilaku manusia untuk senantisa menghargai dan menghormati harkat & derajat manusia lainnya.Memanusiakan manusia adalah tidak menindas sesama,tidak menghardik,tidak bersifat kasar,tidak menyakiti,dan prilaku-prilaku lainnya.
Memanusiakan manusia berarti memanusiakan antarsesama,memanusiakan manusia menguntungkan bagi diri sendiri dan orang lain.Bagi diri sendiri menunjukan harga diri dan nilai luhur pribadinya sebagai manusia,bagi orang lain memberikan rasa percaya,hormat,kedamain,dan kesejahteraan hidup.Sebaliknya,sikap tidak manusiawi terhadap manusia lain hanya akan merendah kan harga diri dan martabatnya sebagai manusia yang sesungguhnya makhluk mulia.sedangkan bagi orang lain sebagai korban tindakan yang tidak manusiawi dan menciptakan penderitaan,kesusahan,ketakutan,maupun rasa dendam

Sejarah membuktikan bahwa perseteruan,pertentangan dan peperangan yang terjadi di berbagai belahan dunia karena manusia belum mampu memanusiakan manusia lain.Sikap dan perilaku manusia didasarkan atas prinsip kemanusiaan yang disebut the mankind is one.Prinsip kemanusiaan tidak membeda-bedakan kita dalam memperlakukan orang lain atas dasar warna kulit,suku,agama,ras,asal,dan status sosial ekonomi.Sebagai makhluk tuhan yang sama harkat dan martabat nya dihadapan Tuhan sudah selayaknya kita bersikap manusiawi terhadap orang lain,apapun latar belakangnya.

Manusia itu mahluk ciptaan-Nya yang unik. Karena diberikan kelebihan dari akal budinya, tapi juga memiliki kekurangan dibandingkan makhluk lainnya. Begitulah indahnya kehidupan. Dengan hanya mengandalkan otaknya, manusia bisa berdigdaya menundukkan alam ini. Manusia harus dimanusiakan. Seorang manusia berbeda antara satu dengan lainnya. Tidak ada yang sama persis. Oleh karenanya dalam menangani manusia terdapat aspek yang sifatnya “customized”, yang berbeda antara menangani satu orang dengan orang lain. Namun sekali lagi manusia adalah manusia. Disamping memiliki kekhasan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, terdapat pula kesamaan antara seorang manusia dengan manusia lain.

Setiap manusia ingin hidup nyaman, ingin dihargai, ingin dimengerti.Dalam konsep pengendalian, apabila kita berhasil memberikan apa yang diperlukan oleh orang-orang disekitar kita, maka orang-orang disekitar kita akan lebih mudah dan lebih merasa nyaman saat harus kita kendalikan. Dengan kata lain, karena manusia ingin hidup nyaman maka apabila kita berhasil memberikan kenyamanan, kita akan lebih mudah mengendalikan orang tersebut. Jadi, bila mereka ingin dihargai, maka berikan penghargaan. Mereka ingin dimengerti, maka berikan pengertian. Itu kiatnya. Berikan apa yang mereka inginkan, karena sebagian besar yang mereka inginkan sebetulnya kita mampu untuk memberikannya. Iman dan Takwa adalah buah kesadaran, keyakinan – yang mana sudah ada di dalam diri setiap manusia. Kesadaran itu, keyakinan itu hanya perlu diungkapkan. Dan, pengungkapan itu menjadi tugas Agama.

Kalau kita berhadapan dengan kekhasan orang, maka kita perlu memiliki soft skill untuk memahami orang per orang. Dari kebutuhan umum orang-orang disekitar kita yang dapat kita generalisasikan, ternyata ada prioritas yang berbeda antara satu dengan lainnya.

Sadar atau tidak, pendidikan selain untuk mencerdaskan bangsa, juga membatu untuk mendewasakan bangsa, sehingga bangsa bisa memiliki karakter yang berpendidikan moral. Secara mendasar, pendidikan ada, karena ada manusia. Oleh karena itu, pendidikan ada hanya untuk manusia, bukan untuk hewan atau sejenisnya. Hal mendasar seperti inilah yang perlu kita catat besar-besar di kepala kita, khususnya bagi mereka yang menjadi seorang guru. Sebab, kita sering kali melupakan bahwa orang yang menjadi amanat kita adalah manusia yang memiliki keragam dan keseragaman yang begitu kompleks.

Seperti yang telah kita singgung di atas.Manusia memiliki kekhasan tersendiri.Manusia yang satu berbeda dengan manusia yang lainnya.Namun pada saat sekarang,banyak sistem-sistem atau prosedur yang dibuat oleh manusia sendiri tetapi menjadikan manusia terbelenggu akan hal tersebut.

• Dalam Segi Pendidikan

Realita yang terjadi, murid dianggap sebagai sebuah robot. Murid yang masuk pada salah satu sekolah yang sudah memiliki visi, misi dan tujuan. Seketika itu, pemilik lembaga langsung men-set up semau lembaga mereka. Murid adalah manusia, ia bukanlah robot yang terbuat dari bahan-bahan mekanik yang mudah di-setting untuk mengerjakan perintah-perintah, diarahkan semaunnya dan sebagainya.Pendidikan adalah untuk manusia, begitu juga sekolah adalah sekolahnya manusia.

Jadi, lembaga pendidikan seharusnya mengantarkan kemauan atau cita-cita muridnya, bukan sebaliknya murid mengantarkan kemauan atau cita-cita sekolah. Pada akhirnya, semua murid yang masuk pada lembaganya, langsung di-make up lembaga untuk siap tanding melawan pesaing-pesaing dari lembaga pendidikan lainnya atau untuk menjadi jagoan di bidang mata pelajatan agar citra lembaga pendidikan terangkat.

Boleh saja suatu lembaga memiliki cita-cita seperti itu, namun yang patut diketahui oleh pengelola lembaga bahwa lembaga pendidikan harus dapat memberikan konstribusi dalam menghantarkan cita-cita muridnya. Sebab, tidak semuanya murid dapat nyaman dan bisa untuk menuruti kemauan lembaga.Sudahkah kita memahami karakter seorang murid kita?

Otoritas seorang guru memaksakan murid untuk menjadi pandai adalah kewajiban ke nomor sekian, melainkan kewajiban seorang guru adalah bagaimana guru dapat menyampaikan pengetahuannya dengan baik, sehingga murid yang mereka hadapi memahami pelajaran-pelajaran yang ia sampaikan.Seorang guru tidak selalu dibutuhkan, ia yang pandai dalam bidang keilmuan, ia yang juara semasa studinya dan lainya. Tetapi juga, guru harus bisa memandaikan, mencerdaskan dan mendewasakan muridnya. Tidak jarang, guru yang lulusan luar negeri dan berpengatahuan banyak tetapi ketika ia mengajar di sekolah tetap saja tidak disukai murid-muridnya, karena tidak dapat mengajar dengan baik.
Entah dengan sekarang, tapi bertahun-tahun lalu kita sering menemukan seorang anak yang berhenti sekolah gara-gara belum membayar uang bulanan sekolah. Itu terjadi di sekolah, lembaga yang bidang utamanya mengajar dan mendidik manusia. Maka, tidak mengherankan jika dari sekolah tersebut menghasilkan manusia-manusia yang ‘kejam’, tapi dibenarkan oleh prosedur.
Komputer dan robot adalah contoh benda-benda yang bisa melakukan segalanya sesuai prosedur, dan harus sesuai prosedur, karena keduanya diciptakan untuk itu. Maka, jika manusia dituntut harus selalu melakukan segalanya sesuai prosedur dan tidak boleh sedikitpun keluar dari prosedur tersebut, bukankah itu sebuah cara untuk menjadikan manusia sebagai benda.
Contoh sebuah prosedur yang baik, yang dapat kita temukan adalah prosedur shalat. Normalnya, shalat wajib dilakukan dengan berdiri. Akan tetapi, prosedur normal itu boleh dan malah dianjurkan untuk dilanggar jika seseorang dalam kondisi sakit, atau tidak mampu untuk melakukan shalat. Misalnya sambil duduk. Jika tidak mampu duduk, boleh berbaring. Anda juga boleh bertayammum dalam keadaan sakit atau dalam situasi tidak ada air sama sekali. Justru ketika seseorang tidak mampu, tapi memaksakan diri, maka orang tersebut wajib untuk diberi peringatan.Prosedur semacam itu, terus terang saja, sulit ditemukan.

seperti apakah manusia itu semestinya?
Yang pertama, setiap manusia itu dibentuk ataupun dibekali oleh pendidikan agar dapat merasakan kemerdekaan dirinya. Merdeka berarti kebebasan. Jadi melalui pendidikan kita dididik agar kita menjadi individu yang bisa “melawan” terhadap penindasan yang dialaminya. Yang kedua, kita didik agar menjadi manusia yang memiliki akal budi, yang mampu membedakan mana yang benar maupun yang salah, yang berani memperjuangkan kebenaran apapun risikonya.
Manusiawi mempunyai arti memperlakukan seseorang itu seperti memperlakukan diri sendiri. Jadi disini kita tidak boleh membedakan seseorang itu berdasarkan golongannya, status sosialnya, maupun keterbatasannya dan hal-hal lain yang dapat menciptakan perbedaan bagi sesama manusia. Karena setiap manusia itu mempunyai hak asasi yang sama, yang sudah melekat sebelum manusia itu dilahirkan. Dan juga manusia itu adalah makhluk sosial yang saling memiliki ketergantungan satu sama lain. Yang hidup berdampingan dan hidup saling melengkapi.
Melihat keterangan tersebut maka dapat kita bayangkan betapa indahnya manusia itu diciptakan Sang Pencipta. Namun manusia itu sendirilah yang membuat hidupnya tidak manusiawi karena keserakahan, dan menyalahgunakan kehendak bebas yang telah diberikan oleh Allah.
Pendidikan yang masih “Memintarkan” belum “Memanusiakan”

Pendidikan adalah proses pendewasaan anak didik agar mampu menjalani kehidupan pada zamannya, sehingga dunia pendidikan harus melahirkan sikap insan cendekia. Tanpa sikap cendekia dan semangat intelektualitas maka pendidikan hanya akan menghasilkan orang-orang cacat moral. Jika suatu bangsa mengalami kebobrokan berarti ada yang tidak beres dalam proses pendidikan. Filosofi semangat pendidikan adalah memanusiakan manusia, bukan memintarkan manusia. Itulah beberapa pernyataan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Mahfud MD dalam acara syawalan 1433 H di Auditorium Universitas Negeri Yogyakarta.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqSrwgdnR4ICHWD-zsAGQb-Cv7nP-DmFvdOf5Njpsu4ari2d8u2nWwK6aij6TQDk_-dVLxy1cK4V2_bdGAyPmY1iaoSdTo7ZO5Z9cAmWyYcNnhyphenhyphenu3seyxEwLIDaP57FbPL5KVTZBJCwTM/s320/FILE0003.JPGMenarik menyikapi hal tersebut, karena selain mengungkap harapan besar terhadap dunia pendidikan tetapi juga mengkritisi keadaan dunia pendidikan yang seolah-olah menjadi tersangka utama dalam “kebelumberhasilan” memanusiakan manusia Indonesia walaupun sudah bisa dikatakan “berhasil” dalam memintarkan manusia Indonesia.

Bukti bahwa pendidikan kita saat ini “sudah” berhasil dalam memintarkan manusia tolak ukurnya mudah yaitu dengan melihat tingkat kelulusan ujian akhir nasional peserta didik. Jika tingkat kelulusan ujian akhir nasional di suatu daerah tinggi maka bisa dikatakan bahwa pendidikan telah mampu memintarkan peserta didik. Semakin banyak peserta didik yang lulus maka semakin “berhasil” pendidikan dalam memintarkan peserta didik. Tetapi apakah dengan kemampuan memintarkan peserta didik tersebut pendidikan juga telah mampu memanusiakan peserta didik? Tolak ukurnyapun tidak terlalu sulit yaitu dengan melihat sikap peserta didik. Saat bertemu dengan orang yang lebih tua apakah peserta didik bersikap sopan dan santun? Apakah peserta didik dalam berkendara sudah mematuhi peraturan lalu lintas? Apakah peserta didik menghormati keragaman suku, adat, ras dan agama? Apakah peserta didik malu saat melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat? semua pertanyaan tersebut akan mengarah kepada jawaban bahwa dunia pendidikan kita sudah mampu memanusiakan manusia atau belum. Tentu semua dari kita bisa menjawabnya dengan argumentasi berbeda-beda.

Terkait atau tidak terkait dengan kemampuan dunia pendidikan dalam memintarkan ataupun memanusiakan peserta didik, tentu kita tidak boleh memvonis bahwa dunia pendidikan yang harus bertanggung jawab terhadap kebobrokan bangsa saat ini. Apalagi menyalahkan pendidik sebagai “ikon” dunia pendidikan. Segenap elemen bangsa bertanggungjawab terhadap ketidakberhasilan pendidikan kita dalam memanusiakan peserta didik. Pemerintah dalam hal ini adalah kementerian pendidikan nasional juga bertanggungjawab karena sebagai komando tertinggi arah kebijakan pendidikan seakan “hanya” mengeluarkan kebijakan dengan sedikit realisasi dan kontrol atas kebijakan tersebut.

Pendidikan karakter yang digaungkan dan menjadi angin surga akan terciptanya pendidikan yang mampu memanusiakan peserta didik sampai saat ini pelaksanaan di lapangan hanya terbatas pada rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dimiliki guru. Sedangkan tahap pelaksanaan masih sangat jauh dari yang diharapkan. Hal ini terjadi karena selain guru diharapkan menanamkan pendidikan karakter pada peserta didik tetapi dilain pihak guru juga harus membelajarkan materi pembelajaran yang mana materi tersebut begitu banyak. Sehingga yang terjadi guru hanya terfokus pada penyampaian materi pembelajaran karena materi itulah yang akan diujikan nantinya di ujian akhir nasional, sedangkan pendidikan karakter yang sebenarnya justru menjadi target pendidikan malah dikesampingkan sehingga sampai saat ini pendidikan hanya mampu memintarkan peserta didik tapi belum mampu memanusiakan peserta didik.

Jika memang ingin pendidikan yang memintarkan sekaligus memanusiakan peserta didik, maka cara yang paling efektif dan efisien adalah dengan menghapuskan ujian akhir nasional, sehingga para guru akan bertanggungjawab penuh terhadap “output sikap” peserta didik yang pada akhirnya juga akan berimbas kepada “output nilai” peserta didik, bukan sebaliknya. Nilai bukanlah patokan “dimilikinya ilmu”, tetapi proses dalam belajar itulah yang seharusnya menjadi acuan utama. Selama sistem ujian akhir nasional kita anut maka yang  “dikejar” bukanlah ilmu lagi tetapi nilai. Dan jika hal ini sudah terjadi maka jangan harap pendidikan karakter yang didambakan akan terwujud.

Perbedaan fasilitas yang dimiliki oleh sekolah juga menjadi pemicu kekurangberhasilan  pendidikan dalam memintarkan maupun memanusiakan peserta didik. Beban sekolah dengan fasilitas kurang memadai tentu lebih berat dibanding sekolah dengan fasilitas yang lebih memadai. Fasilitas pembelajaran yang dimiliki sekolah dengan kurikulum pendidikan saat ini ibarat “kelas ringan” melawan “kelas berat”. Pendidik dengan fasilitas pembelajaran terbatas tentu harus berpikir ekstra dalam merencanakan pembelajaran karena materi yang harus disampaikan sangat banyak dan berat bagi peserta didik.

Masyarakat sebagai lingkungan terlama peserta didik beraktivitas juga memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan atau kekurangberhasilan pendidikan dalam memanusiakan peserta didik. Di lingkungan masyarakat peserta didik melihat langsung teladan dari orang-orang yang dikenalnya. Sebaik apapun pembelajaran karakter yang dilakukan di sekolah tetapi jika lingkungan masyarakat kurang mendukung dalam meneladankan karakter maka yang akan dipahami dan ditiru peserta didik tentulah yang dicontohkan warga masyarakat.

Melihat betapa urgentnya peran pemerintah, pendidik dan masyarakat dalam usaha memintarkan dan memanusiakan peserta didik maka kerjasama ketiga pihak sangat diharapkan, sehingga cita-cita pendidikan untuk menghasilkan peserta didik yang mumpuni dalam segi ilmu dan moral dapat tercapai. Semoga!



5W+1H PENDIDIKAN


1.     WHATà apa itu Pendidikan ?

a.       Menurut Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia) menjelaskan tentang pengertian pendidikan yaitu: Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
b.      Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
c.       Menurut UU No. 20 tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
d.      Sedangkan pengertian pendidikan menurut H. Horne, adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada vtuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia.
e.       Dari beberapa pengertian pendidikan menurut ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Pendidikan adalah Bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain.

2.      WHO--à Siapa Pendidik itu?
Dari segi bahasa pendidik adalah orang yang mendidik. Dari segi istilah merupakan profesi atau keahlian tertentu yang melekat pada seseorang yang tugasnya berkaitan dengan pendidikan.
Istilah pendidik dalam beberapa literatur kependidikan sering diwakili oleh istilah guru. Guru sebagai orang yang kerjanya mengajar / memberikan pengajaran di sekolah / kelas. Artinya, guru bekerja dalam pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam membantu anak – anak mencapai kedewasaan masing – masing. Guru tidak hanya menyampaikan materi pengetahuan tertentu, tetapi ikut aktif serta kreatif dalam mengarahkan perkembangan anak didiknya untuk menjadi anggota masyarakat sebagai orang dewasa. Dari sini, kita bisa pahami bahwa kedudukan seorang guru sangat penting dalam proses pendidikan karena dia bertanggungjawab dan menentukan arah pendidikan dalam rangka mencetak generasi bangsa yang unggul disegala bidang.
Hasan Fahmi mengutip salah satu ucapan seorang penyair zaman modern, yang berkenaan dengan kedudukan guru. Syair tersebut artinya “Berdirilah kamu seorang guru dan hormatilah dia”. Seorang guru itu hampir mendekati kedudukan seorang rasul, yaitu menempati urutan kedua sesudah martabat Rasul

Siapa peserta didik itu?
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu.
Sumber (wikipedia Bahasa Indonesia)
peserta didik adalah komponen masukan dalam sistem pendidikan, yang selanjutnya diproses dalam proses pendidikan, sehingga menjadi manusia yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Sebagai suatu komponen pendidikan peserta didik dapat ditinjau dari berbagai pendekatan, antara lain: pendekatan social, pendekatan psikologis, dan pendekatan edukatif/paedagogis.
1.      Pendekatan sosial, peserta didik adalah anggota masyarakat yang sedang disiapkan untuk menjadi anggota masyarakat yang lebih baik. Sebagai anggota masyarakat, dia berada dalam lingkungan keluarga, masyarakat sekitarnya, dan masyarakat yang lebih luas. Peserta didik perlu disiapkan agar pada waktunya mampu melaksanakan perannya dalam dunia kerja dan dapat menyesuaikan diri dari masyarakat. Kehidupan bermasyarakat itu dimulai dari lingkungan keluarga dan dilanjutkan di dalam lingkungan masyarakat sekolah. Dalam konteks inilah, peserta didik melakukan interaksi dengan rekan sesamanya, guru-guru, dan masyarakat yang berhubungan dengan sekolah. Dalam situasi inilah nilai-nilai social yang terbaik dapat ditanamkan secara bertahap melalui proses pembelajaran dan pengalaman langsung.
2. Pendekatan Psikologis, peserta didik adalah suatu organisme yang sedang tumbuh dan berkembang. Peserta didik memiliki berbagai potensi manusiawi, seperti: bakat, inat, kebutuhan, social-emosional-personal, dan kemampuan jasmaniah. Potensi-potensi itu perlu dikembangkan melalui proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah, sehingga terjadi perkembangan secara menyeluruh menjadi manusia seutuhnya. Perkembangan menggambarkan perubahan kualitas dan abilitas dalam diri seseorang, yakni adanya perubahan dalam struktur, kapasitas, fungsi, dan efisiensi. Perkembangan itu bersifat keseluruhan, misalnya perkembangan intelegensi, sosial, emosional, spiritual, yang saling berhubungan satu dengan lainnya.
3. Pendekatan edukatif/paedagogis, pendekatan pendidikan menempatkan peserta didiksebagai unsur penting, yang memiliki hak dan kewajiban dalam rangka sistem pendidikan menyeluruh dan terpadu.

3.     WHYàMengapa Pendidikan Penting?



http://fikrirasyid.com/wp-content/uploads/2009/12/onelaptopperchild-actual.jpg

Beberapa hari yang lalu, saat saya berada diperjalanan dari rumah saya di cikutra ke kampus di ledeng (saya suka memikirkan banyak hal secara acak ketika berada di kendaraan), pikiran saya memunculkan pertanyaan yang sangat sederhana tapi penting: mengapa pendidikan penting?

Mewariskan kebudayaan

Saya teringat salah satu mata kuliah landasan pendidikan yang saya ambil tahun kemarin. Salah satu esensi terpenting pendidikan adalah memanusiakan manusia. Pendidikan diciptakan untuk memanusiakan manusia. Yang membedakan manusia dan bukan manusia adalah keberbudayaannya. Pendidikan diciptakan untuk mewariskan kebudayaan terdahulu agar generasi berikutnya mendapatkan kebajikan generasi terdahulu sehingga mereka memulai start di garis finish generasi terdahulu yang memungkinkan mereka mencapai apa yang belum sempat dicapai oleh generasi terdahulu.
Dengan itulah mereka menjadi manusia, manusia yang lebih baik. Dengan memiliki kebudayaan, dan menciptakan kebudayaan yang lebih baik.

Cepat atau lambat, kita semua akan mati

ini adalah poin yang membuat saya tersadar: tidak perduli sehebat apa anda sekarang, anda (dan kita semua) memiliki batas bernama kematian. Saya teringat kelas language in society yang saya ambil semester ini: Satu bahasa mati ketika tidak ada lagi pembicara / pengguna bahasa bahasa tersebut. Ketika generasi sunda setelah saya lebih memilih berbicara bahasa indonesia alih-alih berbahasa sunda dan semua pembicara bahasa sunda dari generasi saya keatas sudah habis (red: wafat), bahasa sunda juga turut habis riwayatnya.

Berfikir “terbuka”

Jika memang pendidikan sepenting itu, apa yang harus kita lakukan untuk menyikapinya? kita mungkin bukan penentu kebijakan atau pelaksana pendidikan seperti guru / dosen / dll, tapi ada banyak hal yang dapat kita lakukan. Hal paling sederhana tapi luar biasa bermanfaat adalah berbagi apa yang kita ketahui. Saya pribadi percaya bahwa berbagi atau bertukar pikiran atau menyampaikan pemikiran adalah rantai pendidikan yang paling sederhana dan paling efisien. Pikirkan mana yang lebih anda ingat: ceramah dosen di kelas 3 SKS yang panjang dan membosankan atau diskusi penuh ide segar dari kolega anda?
Mungkin beberapa dari kita merasa terancam dengan berbagi apa yang kita ketahui karena apa yang kita ketahui merupakan ‘kunci’ untuk mendapatkan penghasilan. Era keterbukaan sudah ada di depan mata (industri yang sudah merasakan epidemi-nya adalah industri web yang bahkan harus terbuka dan menciptakan peluang untuk pihak ketiga untuk berkolaborasi agar bertahan. Contoh: twitter) dan kelak informasi-informasi termasuk apa yang anda ketahui bisa diakses oleh semua orang. Apakah masih ada secret ingredient itu?
Beberapa dari kita mungkin merasa ‘malas’ atau ‘tidak punya cukup waktu’ untuk berbagi. Coba pikirkan sejenak: ketika usia anda makin senja dan anda tidak lagi cukup tanggap terhadap perubahan, apa yang akan terjadi? Berbagi pasti menciptakan timbal balik karena ada pihak lain yang mendapatkan manfaat dari anda sehingga menciptakan rangkaian kejadian yang ujungnya akan menguntungkan anda. Mungkin ini adalah alasan logis mengapa giving is the only way for receiving.

4.      WHEN --à Kapan Pendidikan Berlangsung?
Pendidikan berlangsung kapanpun, karena mnengingat kebutuhan manusia terhadap pendidikan itu sendiri sangatlah tinggi. Untuk memperoleh pendidikan tidak ada keharusan bagi seseorang untuk menunggu masa dewasa atau masa mereka memiliki kemampuan. Akan tetapi pendidikan itu berlangsung selama seseorang mengerti tentang manfaat dan fungsi pendidikan itu.




5.      WHERE -à Dimana Pendidikan Berlangsung?
Pendidikan bisa berlangsung dimana saja tanpa harus menuntut diri untuk bisa masuk di lembaga pendidikan formal. Pendidikan dapat berlangsung mulai dari rumah kita bersama para anggota keluarga, sampai pada perguruan tinggi. Bagi seseorang yang tidak memiliki kecukupan secara finansial pun, tetap memiliki kewajiban untuk menempuh pendidikan meskipun tempat pendidikan mereka hanyalah berupa tempat yang semi formal atau bahkan tidak formal sama sekali.








ASAS-ASAS PENDIDIKAN


http://ts1.mm.bing.net/th?id=H.4885349996233596&pid=15.1
1.      TUT WURI HANDAYANI
Makna dan arti Tut Wuri Handayani – Ing Ngarso Sun Tulodo – Ing Madyo Mangun Karso, Terdiri dari 3 kalimat ungkapan atau slogan yang dibut oleh bapak pendidikan kita sekaligus Pahlawan nasional Ki Hajar Dewantara. Kalimat ini sering kita dengar pada waktu sekolah atau bisa dilihat pada sebuah gambar/logo Tut wuri Handayani. Meski kalimat ini terlihat sederhana sebenarnya tersimpan makna mendalam sebagai sebuah ungkapan penting dari sebuah keteladanan bagi seorang pendidik atau pemimpin baik moral maupun semangat bagi anak didiknya. 1 Logo Tut Wuri Handayani Warna Makna Semboyan Tut wuri handayani Semboyan “Tut wuri handayani”, atau aslinya: ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Arti dari semboyan ini adalah: tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik). Sehingga Tercipta kalimat : Di Depan, Seorang Pendidik harus memberi Teladan atau Contoh Tindakan Yang Baik, Di tengah atau di antara Murid, Guru harus menciptakan prakarsa dan ide, Dari belakang Seorang Guru harus Memberikan dorongan dan Arahan.

Read more at
http://uniqpost.com/7525/makna-semboyan-tut-wuri-handayani/

2.      BELAJAR SEPANJANG HAYAT
Belajar sepanjang hayat adalah suatu konsep, suatu idea, gagasan pokok dalam konsep ini ialah bahwa belajar itu tidak hanya berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan formal seseorang masih dapat memperoleh pengetahuan kalau ia mau, setelah ia selesai mengikuti pendidikan di suatu lembaga pendidikan formal. Ditekankan pula bahwa belajar dalam arti sebenarnya adalah sesuatu yang berlangsung sepanjang kehidupan seseorang. Bedasarkan idea tersebut konsep belajar sepanjang hayat sering pula dikatakan sebagai belajar berkesinambungan (continuing learning). Dengan terus menerus belajar, seseorang tidak akan ketinggalan zaman dan dapat memperbaharui pengetahuannya, terutama bagi mereka yang sudah berusia lanjut. Dengan pengetahuan yang selalu diperbaharui ini, mereka tidak akan terasing dan generasi muda, mereka tidak akan menjadi snile atau pikun secara dini, dan tetap dapat memberikan sumbangannya bagi kehidupan di lingkungannya1. Belajar erat kaitannya dengan psikologi. Dalam hal ini, Made Pidarta mengemukakan : psikologi atau jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa manusia. Jiwa itu sendiri adalah roh dalam mengendalikan jasmani. Karena itu jiwa atau psikis dapat dikatakan inti dan kendali kehidupan manusia yang berada dan melekat dalam diri manusia itu sendiri.2

Jiwa manusia berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani, sejak dari masa bayi, kanak-kanak dan seterusnya sampai dewasa dan masa tuã. Makin besar anak itu makin berkembang pula jiwanya. Dengan melalui tahap-tahap tertentu dan akhimya anak ito mencapai kedewasaan balk dari segi kejiwaan maupun dari segi jasmani.
Dalam perkembangan jiwa dan jasmani tersebut, manusia perlu belajar. Masa belajar itu bertingkat-tingkat, sejalan dengan fase-fase perkembangannya, sejak masa kanak-kanak sampai masa tua. Dan sini dapat dipahami bahwa belajar merupakan kebutuhan sebagai bekal untuk menempuh kehidupan disepanjang hayatnya.
Melalui pembahasan ini dimaksudkan untuk lebih memahami hakekat belajar dan bagaimana memberikan motivasi bahwa belajar itu sebenarnya berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan sejak dari buaian sampai hang lahat.



3.      KEMANDIRIAN DALAM BELAJAR


kemandirian belajar
kemandirian belajar
Konsep Belajar Mandiri (Self-directed Learning) sebenarnya berakar dari konsep pendidikan orang dewasa. Namun demikian berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli seperti Garrison tahun 1997, Schillereff tahun 2001, dan Scheidet tahun 2003 ternyata belajar mandiri juga cocok untuk semua tingkatan usia. Dengan kata lain, belajar mandiri sesuai untuk semua jenjang sekolah baik untuk sekolah menengah maupun sekolah dasar dalam rangka meningkatkan prestasi dan kemampuan siswa (http://www.nwrel.org/planing/reports/self-direct/index.php )
Pengertian tantang belajar mandiri sampai saat ini belum ada kesepakatan dari para ahli. Ada beberapa variasi pengertian belajar mandiri yang diutarakan oleh para ahli seperti dipaparkan Abdullah(2001:1-4)sebagaiberikut:
1. Belajar Mandiri memandang siswa sebagai para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses pelajaran mereka sendiri. Belajar Mandiri mengintegrasikan self-management ( manajemen konteks, menentukan setting, sumber daya, dan tindakan) dengan self-monitoring (siswa memonitor, mengevaluasi dan mengatur strategi belajarnya) (Bolhuis; Garrison).
2. Peran kemauan dan motivasi dalam Belajar Mandiri sangat penting di dalam memulai dan memelihara usaha siswa. Motivasi memandu dalam mengambil keputusan, dan kemauan menopang kehendak untuk menyelami suatu tugas sedemikian sehingga tujuan dapat dicapai (Corno; Garrison).
3. Di dalam belajar mandiri, kendali secara berangsur-angsur bergeser dari para guru ke siswa. Siswa mempunyai banyak kebebasan untuk memutuskan pelajaran apa dan tujuan apa yang hendak dicapai dan bermanfaat baginya (Lyman; Morrow, Sharkey, & Firestone).
4. Belajar Mandiri “ironisnya” justru sangat kolaboratif. Siswa bekerja sama dengan para guru dan siswa lainnya di dalam kelas (Bolhuis; Corno; Leal).
5. Belajar Mandiri mengembangkan pengetahuan yang lebih spesifik seperti halnya kemampuan untuk mentransfer pengetahuan konseptual ke situasi baru. Upaya untuk menghilangkan pemisah antara pengetahuan di sekolah dengan permasalahan hidup sehari-hari di dunia nyata (Bolhuis; Temple & Rodero).
Jika para ahli di atas memberi makna tentang belajar mandiri secara sepotong-sepotong, maka Haris Mujiman (2005:1) mencoba memberikan pengertian belajar mandiri dengan lebih lengkap. Menurutnya belajar mandiri adalah kegiatan belajar aktif, yang didorong oleh niat atau motif untuk menguasai suatu kompetensi guna mengatasi suatu masalah, dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang dimiliki. Penetapan kompetensi sebagai tujuan belajar, dan cara pencapaiannya – baik penetapan waktu belajar, tempat belajar, irama belajar, tempo belajar, cara belajar, maupun evaluasi belajar – dilakukan oleh siswa sendiri. Di sini belajar mandiri lebih dimaknai sebagai usaha siswa untuk melakukan kegiatan belajar yang didasari oleh niatnya untuk menguasai suatu kompetensi tertentu.
Pengertian belajar mandiri yang lebih terinci lagi disampaikan oleh Hiemstra (1994:1) yang mendeskripsikan belajar mandiri sebagai berikut:
1. Setiap individu siswa berusaha meningkatkan tanggung jawab untuk mengambil berbagai keputusan dalam usaha belajarnya.
2. Belajar mandiri dipandang sebagai suatu sifat yang sudah ada pada setiap orang dan situasi pembelajaran;
3. Belajar mandiri bukan berarti memisahkan diri dengan orang lain;
4. Dengan belajar mandiri, siswa dapat mentransfer hasil belajarnya yang berupa pengetahuan dan keterampilan ke dalam situasi yang lain.
5. Siswa yang melakukan belajar mandiri dapat melibatkan berbagai sumber daya dan aktivitas, seperti: membaca sendiri, belajar kelompok, latihan-latihan, dialog elektronik, dan kegiatan korespondensi.
6. Peran efektif guru dalam belajar mandiri masih dimungkinkan, seperti dialog dengan siswa, pencarian sumber, mengevaluasi hasil, dan memberi gagasan-gagasan kreatif.
7. Beberapa institusi pendidikan sedang mengembangkan belajar mandiri menjadi program yang lebih terbuka (seperti Universitas Terbuka) sebagai alternatif pembelajaran yang bersifat individual dan program-program inovatif lainnya.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli dan beberapa pertimbangan di atas, maka belajar mandiri dapat diartikan sebagai usaha individu untuk melakukan kegiatan belajar secara sendirian maupun dengan bantuan orang lain berdasarkan motivasinya sendiri untuk menguasai suatu materi dan atau kompetensi tertentu sehingga dapat digunakannya untuk memecahkan masalah yang dijumpainya di dunia nyata.
Self-directed learning adalah kegiatan belajar mandiri, sedangkan orang yang melakukan kegiatan belajar mandiri sering disebut siswa mandiri (self-directed learners). Abdullah, M.H (2001) dalam ERIC digest No. 169 mengatakan self-directed learners adalah sebagai “para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses pembelajaran yang mereka lakukan sendiri”. Individu seperti itu mempunyai keterampilan untuk mengakses dan memproses informasi yang mereka perlukan untuk suatu tujuan tertentu. Dalam belajar mandiri mengintegrasikan self-management ( manajemen konteks termasuk latar belakang social, menentukan, sumber daya dan tindakan) dengan yang self-monitoring ( proses siswa dalam memonitor, mengevaluasi, dan mengatur strategi belajarnya).

                                                                                                Disusun oleh Indra Hidayat
                                                                                                Prodi BSI sem I Kelas B
                                                                                                N0 56









Tidak ada komentar:

Posting Komentar