Pengertian Guru
Guru itu adalah sesosok manusia yang pantas untuk dicontohi dan diteladani karena memang pada diri seorang guru ada suri teladan yang baik. Guru berasal dari bahasa sansekerta yang berarti seorang pengajar suatu ilmu.
Arti umum
Guru adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar atau menengah. Dalam definisi yang lebih luas setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap sebagai guru.
Arti khusus
Dalam
agama hindu, guru merupakan simbol bagi suatu tempat yang suci berisi
ilmu dan juga pembagi ilmu. Seorang guru adalah pemandu spiritual atau
kejiwaan murid-muridnya.
Dalam agama budha, guru adalah orang yang memandu muridnya dalam jalan menuju kebenaran.
Orang India, China, Mesir dan Israel menerima pengajaran dari guru yang merupakan seorang imam atau nabi. Oleh sebab itu seorang guru sangat dihormati dan terkenal di masyarakat serta menganggap guru sebagai pembimbing untuk mendapatkan keselamatan dan kehormatan bahkan lebih dari orang tua mereka.
Dalam agama budha, guru adalah orang yang memandu muridnya dalam jalan menuju kebenaran.
Orang India, China, Mesir dan Israel menerima pengajaran dari guru yang merupakan seorang imam atau nabi. Oleh sebab itu seorang guru sangat dihormati dan terkenal di masyarakat serta menganggap guru sebagai pembimbing untuk mendapatkan keselamatan dan kehormatan bahkan lebih dari orang tua mereka.
Guru di Indonesia
Secara formal, guru adalah seorang pengajar di sekolah negeri ataupun swasta yang memiliki kemampuan berdasarkan latar belakang pendidikan formal dan telah memiliki ketetapan hukum yang syah sebagai guru berdasarkan undang-undang guru yang berlaku di Indonesia.
Munculnya Istilah Profesi Guru
Profesi guru pada mulanya dikonsep sebagai kemampuan memberi dan mengembangkan pengetahuan peserta didik. Tetapi beberapa dasawarsa terakhir konsep, persepsi dan penilaian terhadap guru mulai bergeser. Hal itu selain karena perubahan pandangan manusia terhadap integritas seseorang yang berkaitan dengan produktivitas ekonominya, juga karena perkembangan yang cukup radikal di bidang pengetahuan dan teknologi terutama bidang informasi dan komunikasi yang kemudian mendorong pengembangan media belajar dan paradigma teknologi pendidikan dalam perkembangan berikutnya, sekaligus sebagai biasnya, guru mengalami dilema eksistensialnya. Selain itu, dengan melihat bergesernya nilai-nilai di mata peserta didik sebagai generasi pembangunan di masa mendatang yang ditandai dengan seringnya pelajar ikut dalam kegiatan tawuran, genk motor, melawan orang tua, tentu memberikan isyarat bahwa pendidikan di Indonesia bergeser ke arah yang tidak diinginkan.
Untuk pengembalian nilai-nilai itu, muncul ide bahwa perlunya pendidikan karakter sejak dini. Sebagai wujud dari komitmen, pada tanggal 30 Desember 2005 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara resmi memutuskan serta menetapkan UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta diundangkan dalam Lembaga Negara RI Tahun 2005 Nomor 157. Dengan adanya undang-undang tersebut guru bukan lagi sebagai kegiatan sampingan, tetapi sebagai profesi yang memiliki payung hukum.
Stigma Perubahan Gaya Hidup Guru Akibat “Guru Sebagai Profesi”
Disadari atau tidak, kini makin terasa menurunnya apresiasi sebagian kalangan masyarakat terhadap istilah “profesi guru”. Hal itu tampak jelas dengan munculnya fenomena kecemburuan sosial pascasertifikasi. Guru yang menerima tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok telah dicitrakan sebagai “orang kaya baru” dengan gaya hidup yang berubah drastis. Sedemikian hebatkah tampilan sosial seorang guru yang telah menerima tunjangan profesi guru, hingga mampu bersaing dengan para koruptor yang biasa berselingkuh dengan para mafia peradilan?
Harus diakui tunjangan profesi telah mampu mengangkat kesejahteraan guru dari kubangan keterpinggiran ekonomi yang dari tahun ke tahun yang tak pernah lepas dari stigma “Omar Bakri”. Guru juga bersyukur pada akhirnya amanat UU No 20 2003 benar dilaksanakan oleh para pengambil kebijakan. Namun sungguh naif tunjangan itu dicitrakan telah membuat gaya hidup seorang guru berubah. Karena guru sebagai pencerah peradaban adalah sebuah keniscayaan sejarah. Artinya, mereka bukan sekedar pentransfer ilmu semata, tetapi juga dituntut agar mampu mengilhami para “cantrik” nya menjadi generasi masa depan sesuai dengan kebutuhan dan semangat zaman.
Dunia pendidikan tak mungkin lepas dari sosok seorang guru yang berdiri di garda depan, berhadapan dengan anak didik secara langsung. Tegak lurusnya pendidikan kita sangat bergantung pada kondisi guru, baik secara kwantitas terlebih kwalitas.
Peningkatan kwantitas guru akan mudah dipenuhi oleh perguruan tinggi pendidikan, namun tidak untuk kwalitas. Padahal kwalitas guru akan berimbas langsung pada kwalitas anak didik. Sayangnya diskursus tentang guru selama ini kalah hiruk pikuk daripada soal kontroversi UN atau kurikulum yang tak konsisten. Anggaran pendidikan yang belum 20%-nya dianggap sebagai penghambat kemajuan pendidikan. Isu guru ramai dan rentang sertifikasi yang memiliki konsekwensi kenaikan pangkat dan gaji, tetapi belum tentu menjamin kwalitas. Isu-isu tersebut seharusnya menjadi catatan kaki dari isu yang lebih tragis, bahwa kita sangat kekurangan guru yang berkwalitas. Secara kwantitas saja belum terpenuhi apalagi secara kwalitas dengan budaya pendidikan serta tujuan pendidikan yang kian hedonistik dan konsumeristik.
Kendati dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, guru telah menjadi profesi yang cukup menarik minat bagi para calon guru. Terlebih menjadi PNS adalah impian banyak orang. Peran guru dalam dunia pendidikan mengalami titik nadir ketika dianggap sebagai sebuah profesi dengan konsekwensi gajinya. Asketisme guru yang lekat dengan mitos pahlawan tanpa tanda jasa, luntur karena guru butuh gaji sebagai pemenuh kebutuhan. Guru sebagai profesi telah menjerumuskan guru pada lubang hitam konsumerisme, yang mengendalikan relasi guru-siswa sebagai produsen dan konsumen dalam “ekonomi pendidikan”. Ini memang dilematis, karena gaji guru tak cukup untuk menutup kebutuhan primer. Apa yang dilakukan mereka akhirnya hanya bersifat “sekedar”. Sekedar untuk datang ke sekolah, mengajar, mentranfer ilmu lalu pulang dan bergelut kembali dengan manusia lain yang memiliki tanggung jawab ekonomi untuk diri sendiri maupun keluarga.
Alasan Mengapa Guru Bisa Menjadi Sebuah Profesi
Guru di era sekarang ini bukan hanya sebagai tenaga pendidik, tetapi telah menjadi sebuah profesi yang undang-undangnya telah diatur tersendiri oleh pemerintah di dalam Undang-Undang Guru dan Dosen yang bertujuan untuk lebih mensejahterakan dan mensejajarkan para guru dengan jenis profesi lainnya dengan diadakannya sertifikasi guru. Sehingga dari sisi materi para guru dan dosen tersejahterakan.
Beberapa tahun sebelum adanya sertifikasi guru, menjadi guru bukanlah pilihan yang utama. Banyak orang menjadi guru karena terpaksa, daripada menganggur atau tidak punya pekerjaan. Di kacamata mereka, seorang guru tak lebih dari orang yang memiliki penghasilan kecil. Begitu pula, para lulusan sekolah lebih senang untuk memilih masuk di fakultas kedokteran, teknik, kehutanan, atau pertanian ketimbang keguruan. Inilah suatu faktor yang menyebabkan menurunnya kwalitas seorang guru. Lulusan-lulusan sekolah yang pintar dan cerdas telah terlebih dahulu untuk memilih fakultas-fakultas tersebut. Namun, sejak pemerintah memberlakukan program sertifikasi guru semua persepsi berubah. Semua jurusan dan fakultas keguruan penuh dengan mahasiswa. Sementara fakultas-fakultas lain berubah sepi. Begitu pula di daerah-daerah, banyak sarjana nonguru memaksa diri untuk menjadi seorang guru demi mendapatkan kesempatan yang sama dalam masalah sertifikasi. Notabenenya, mereka yang tidak memegang akta IV atau ijazah guru, bukanlah dipersiapkan menjadi guru. Sehingga hasil usaha mereka tidak sempurna dan tidak memuaskan.
Lalu, setujukah Anda bahwa guru itu hanyalah sebatas profesi?
Kalau menjadi seorang guru hanya terbatas pada profesi, maka sulit untuk menjadi guru yang profesional. Karena orang yang berada pada profesi tertentu belum tentu memiliki jiwa profesionalisme. Maka seharusnya menjadi guru itu lebih mengarah pada panggilan jiwa demi menghidupkan pendidikan di Indonesia untuk menuju bangsa yang cerdas dan bermartabat. Karena kalau guru didasari oleh panggilan jiwa, kehadiran seorang guru di tengah siswa-siwanya bukan sekedar tranformator ilmu belaka, melainkan melebihi dari itu. Mereka akan menjadi sosok yang benar-benar pantas untuk dijadikan sebagai teladan dalam segala lini kehidupan seorang siswa. Artinya, ketika kita menjadi guru segenap kesadaran batin dan kesadaran pikiran harus dilibatkan, melampaui dari sekedar keterampilan teknis menyangkut metodologi pembelajaran. Masalah metodologi pembelajaran itu bukan hal yang tidak penting, karena keterampilan teknis menjalankan tugas keguruan adalah bagian dari panggilan jiwa seorang guru untuk menguasainya. Tetapi yang ingin ditekankan di sini adalah ketika dianggap sebagai pnggilan jiwa, guru tidak dianggap selesai menunaikan kewajibannya di dalam kelas. Ia harus menjadi pendidik, pendidik yang mampu menjaga perilaku dan perkataan baik di dalam atau di luar kelas, di dalam sekolah atau di luar sekolah. Saya pikir, inilah tugas yang sangat berat untuk guru. Tak bisa seorang guru memIsahkan dirinya antara di sekolah dan di luar sekolah. Tak bisa sepenuhnya guru memisahkan tugasnya di ranah publik dan ranah privasi. Ucapan dan tindakannya akan dimaknai sebagai guru dimana dan kapanpun mereka berada.
Keteladanan
Inilah
yang rasa paling berat menjadi guru. Bukan berarti saya menganggap
bahwa pada profesi lain tidak berat. Sama sekali tidak. Yang ingin saya
katakan, guru secara intens bersinggungan dengan tugas mendidik. Ia
memiliki murid yang siap mengikutinya. Ketika guru memberi contoh yang
tidak baik maka menara yang ia bangun dengan kata-kata
terindah sekalipun, hakikatnya hancur. Karena kata- kata di hadapan
muridnya butuh referensi, yaitu tindakan. Tidak berhenti pada murid,
masyarakat luas siap siap memasang mata memelototi perilaku keseharian
guru. Ketika guru memberikan keteladanan yang baik, maka menumbuhkan
inspirasi dan optimisme bahwa moralitas, nilai-nilai dan etika masih
ada. Guru di Gugu ditiRU, bukan sekedar profesi.
salam hangat dari Indra Hidayat, semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar