Istriku tercinta, Fiha Azmun ... kita berbuat sesuatu, yang bisa dikenang....
Sabtu, 12 April 2014
cerpen bag 1: Nenek si Penjual Kayangan
Siang itu, si nenek tergopoh-gopoh berlari di bawah terik sinar matahari. Keringat mulai meminyaki wajah setengah kusutnya. Di sepasang tangannya bergelantungan beberapa kantungan putih transparan yang berisikan macam-macam buah. Ah, bisa saja ia sedikit kecewa karena jajakannya kepada para penumpang bis tidak ada yang laku. Ia berjalan sambil mengusapkan keringatnya dan menuju ke sebuah tempat duduk sederhana di salah satu sisi jalanan pelabuhan Kayangan itu. Namun ia kembali terlihat senyum seakan tanda tak mau menyerah untuk mengais puing-puing rezekinya. Didekatinya sebuah bis kecil dan kembali ia merayu para calon pembeli. Di antara mereka ada yang memandang nenek itu dengan perasaan iba, ada yang sekedar melambaikan tangan tanda tak mau, dan bahkan ada yang pura-pura tak mendengar. Tentunya hal itu tak akan menjadi penghalang baginya untuk terus mencari secuil laba. Tak ada pula terdengar suara marah dan kesal karena tak diperhatikan. Ia terus saja menjajakkan jualannya.
Di tengah sengatan matahari siang itu, angin sepoi menyapa membawa sedikit kesejukan. Ditariknya napas dalam-dalam layaknya orang sedang berdoa. Langkahan kakinya mulai tercipta untuk sekedar mencari tempat berteduh untuk ke sekian kalinya. Akan tetapi terdengar olehnya suara lembut dari arah kiri memanggil-manggil. Ya, pemuda itu sedang memanggil nenek si penjual di pelabuhan itu. Wajah nenek sedikit kebingungan memperhatikan dari mana suara sapaan itu berasal. Pandangannya lincah untuk memperhatikan ke segala arah. Namun rupanya ia belum mendapatkannya juga.
"Nek, saya di sebelah sini." kembali pemuda itu beriklan.
"Nek, saya di sini nek." lagi-lagi pemuda itu memanggil dengan sedikit mengeraskan suaranya.
Beberapa saat kemudian, dilihatnyalah seorang pemuda tampan yang sedang melambai-lambaikan tangannya.
"Ia, nak. Ada apa?" sahut nenek itu ingin tahu.
"Saya mau beli jualan nenek."
"iya, nak. Mau yang mana?"
"ada berapa kantungan di tangan nenek?
"Ada enam, nak."
"Ya, sudahlah. Saya ambil lima!"
"Alhamdulillah, nak. Terima kasih!"
"Iya, nek. Tapi nenek kalau berjualan jangan di bawah terik matahari begitu. Saya tidak tega melihat nenek kepanasan seperti tadi."
"Ya, begitulah. Namun nenek tetap bersyukur masih mampu berjualan meskipun kadang-kadang jualan nenek tidak laku."
Pemuda itu tiba-tiba menunduk dan meneteskan air mata untuk si nenek, seakan beban yang dipikul oleh si nenek begitu berat untuknya.
"Syukur, nak. Dari pagi jualan nenek tidak ada yang laku. Anakda ini adalah pembeli pertama." Bercerita seraya tersenyum bahagia.
"Memangnya Nenek jualan di sini dari jam berapa?" Si pemuda bertanya ingin tahu.
"Setelah salat subuh nenek bergegas dari rumah dan pergi ke pasar untuk mencarikan beberapa ikatan buah yang bisa dijajakkan di sini. Nenek biasanya sampai zuhur masih berjualan hingga nanti sore. Itu semua nenek lakukan dengan tekun dan sabar, karena...." tiba-tiba si nenek berhenti bercerita.
"Karena apa, Nek? Kenapa berhenti bercerita?" Pemuda bertanya mencari keyakinan.
"Sekarag nenek tiggal dengan dua orang cucu. Yang pertama baru kelas dua SD, sedang yang satunya baru jalan dua tahun.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Cerita yg mengharukan, ditunggu lanjutannya :)
BalasHapus