Selasa, 04 Desember 2012

praktik shalat jamak dan qasar





bab I pendahuluan


Adakalanya dalam beberapa waktu kita mengadakan perjalanan jauh, misalnya karyawisata, mengunjungi kakek dan nenek di kampung halaman atau keperluan lainnya. Terkadang kita juga mengalami coban berupa sakit sampai-sampai tidak dapat bangun, Hal itu menyebabkan kita sering menjumpai kesulitan untuk melakukan ibadah salat.  Padahal salat merupakan kewajiban umat Islam yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun juga.
Melihat hal ini,salat seolah merupakan suatu beban yang memberatkan. Ternyata tidaklah demikian. Islam adalah agama yang memberi kemudahan dan keringanan terhadap pemeluknya di dalam rutinitas ibadah kepada Allah swt.  Hal ini menandakan kasih sayang Allah kepada umat Islam sedemikian besar dengan cara memberikan rukhsah dalam melaksanakan salat dengan cara jamak dan qasar dengan syarat-syarat tertentu.
a. rumusan masalah
    1. apa yang dimaksud dengan salat jamak dan qasar?
    2. kapan orang dapat menjamak dan atau mengqasar shalat?
b. tujuan
   untuk memberikan pemahaman tentang menjamak dan mengqosor salat kepada teman-teman supaya tidak terjadi kesalahan dalam praktiknya.

bab II PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN SHALAT JAMAK DAN SHALAT QASAR

A Shalat Jamak
  1. Pengertian Shalat Jamak.
Shalat jamak adalah shalat yang digabungkan, maksudnya menggabungkan dua shalat fardu yang dilaksanakan pada satu waktu. Misalnya menggabungkan shalat Duhur dan Asar dikerjakan pada waktu Duhur atau pada waktu Asar. Atau menggabungkan shalat magrib dan ‘Isya dikerjakan pada waktu magrib atau pada waktu ‘Isya. Sedangkan shalat Subuh tetap pada waktunya tidak boleh digabungkan dengan salat lain.
Hukum mengerjakan shalat Jamak adalah mubah (boleh) bagi orang-orang yang memenuhi persyaratan.
Rasulullah saw bersabda:
عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمْ اِذا رَحِلَ قَبْلَ اَنْ تَزِيْغَ الشَمْسُ اخِرَ الظُهْرِ اِلى وَقْتِ العَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا فَاِنْ زَاغَتْ الشَمْسُ قَبْلَ اَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُهْرَ ثُمَّ رَكِبَ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: dari Anas, ia berkata: Rasulullah apabila ia bepergian sebelum matahari tergelincir, maka ia mengakhirkan shalat duhur sampai waktu asar, kemudian ia berhenti lalu menjamak antara dua shalat tersebut, tetapi apabila matahari telah tergelincir (sudah masuk waktu duhur) sebelum ia pergi, maka ia melakukan shalat duhur (dahulu) kemudian beliau naik kendaraan (berangkat). (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa Rasulullah pernah menjamak shalat karena ada suatu sebab yaitu bepergian. Hal menunjukkan bahwa menggabungkan dua shalat diperbolehkan dalam Islam namun harus ada sebab tertentu.
Shalat jamak boleh dilaksanakan karna beberapa alasan (halangan) berikut:
  1. Dalam perjalanan jauh minimal 81 km (menurut kesepakatan sebagian besar imam madhab)
  2. Perjalanan itu tidak bertujuan untuk maksiat.
  3. Dalam keadaan sangat ketakukan atau khawatir misalnya perang, sakit,  hujan lebat, angin topan dan bencana alam.
Shalat fardu dalam sehari semalam yang boleh dijamak adalah pasangan shalat duhur dengan asar dan shalat magrib dengan ‘isya. Sedangkan shalat subuh tidak boleh dijamak. Demikian pula orang tidak boleh menjamak shalat asar dengan magrib.
Shalat jamak dapat dilaksanakan dengan dua cara:
  1. Jamak Takdim (jamak yang didahulukan), yakni menjamak dua shalat yang dilaksanakan pada waktu yang pertama. Misalnya menjamak shalat duhur dengan asar, dikerjakan pada waktu duhur ( 4 rakaat salat duhur dan 4 rakaat salat asar) atau menjamak salat magrib dengan ‘isya dilaksanakan pada waktu magrib (3 rakaat salat magrib dan 4 rakaat salat ‘isya).
  2. Jamak Ta’khir (jamak yang diakhirkan), yakni menjamak dua shalat yang dilaksanakan pada waktu yang kedua. Misalnya menjamak shalat duhur dengan asar, dikerjakan pada waktu asar atau menjamak shalat magrib dengan ‘isya dilaksanakan pada waktu ‘isya.
Dalam melaksanakan shalat jamak takdim maka harus berniat menjamak shalat kedua pada waktu yang pertama, mendahulukan salat pertama dan dilaksanakan berurutan, tidak diselingi perbuatan atau perkataan lain. Adapun saat melaksanakan jamak ta’khir maka harus berniat menjamak dan berurutan. Tidak disyaratkan harus mendahulukan shalat pertama. Boleh mendahulukan shalat pertama baru melakukan shalat kedua atau sebaliknya.

 2.    Praktik Salat Jamak Takdim /Takhir

A. Cara Melaksanakan Salat Jamak Takdim

Misalnya salat duhur dengan asar: salat duhur dahulu empat rakaat kemudian salat asar empat rakaat, dilaksanakan pada waktu duhur.
Tata caranya sebagai berikut:
1)       niat shalat jamak takdim
2)   Takbiratul ihram
3)   Salat duhur empat rakaat seperti biasa.
4)   Salam.
5)   Berdiri lagi dan berniat salat yang kedua (asar),
6)   Takbiratul Ihram
7)   Salat asar empat rakaat seperti biasa.
8)   Salam.
Catatan: Setelah salam pada salat yang pertama harus langsung berdiri,tidak boleh diselingi perbuatan atau perkataan misalnya zikir, berdo’a, bercakap-cakap dan lain-lain).
  1. Cara Melaksanakan Salat Jamak Ta’khir.
Misalnya salat magrib dengan ‘isya: boleh salat magrib dulu tiga rakaat kemudian salat ‘isya empat rakaat, dilaksanakan pada waktu ‘isya.
Tata caranya sebagai berikut:
1)   Berniat menjamak salat magrib dan isya' secara takhir
2)   Takbiratul ihram
3)   Salat magrib tiga rakaat seperti biasa.
4)   Salam.
5)   Berdiri lagi dan berniat salat yang kedua (‘isya)
8)   Takbiratul Ihram
9)   Salat ‘isya empat rakaat seperti biasa.
10)    Salam.
Catatan: Ketentuan setelah salam pada salat yang pertama sama seperti salat jamak takdim. Untuk menghormati datangnya waktu salat, hendaknya keuika waktu salat pertama sudah tiba, maka orang yang akan menjamak ta’khir, sudah berniat untuk menjamak ta’khir salatnya, walaupun salatnya dilaksanakan pada waktu yang kedua.

B. Salat Qasar
1. Pengertian Salat Qasar
Salat qasar adalah salat yang dipendekkan (diringkas), yaitu melakukan salat fardu dengan cara meringkas dari empat rakaat menjadi dua rakaat. Salat fardu yang boleh diringkas adalah salat yang jumlah rakaatnya ada empat yaitu duhur , asar dan ‘isya.
Hukum melaksanakan salat qasar adalah mubah (diperbolehkan) jika syaratnya terpenuhi.
Allah berfirman dalam al Qur’an surat An Nisa ayat 101 yang artinya: “ Dan apabila kamu beprgian di muka bumi, maka tidak mengapa kamu menqasar salatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir, sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu.” Q.S.(An Nisa[4]: 101)

 a. Syarat Sah Salat Qasar
Syarat-syarat salat qasar sama dengan syarat salat jamak hanya ditambah persyaratan bahwa salat yang dapat diqasar adalah salat yang jumlah rakaatnya empat, tidak makmum pada orang yang salat sempurna (biasa, tidak qasar)
  1. Praktik Shalat Qasar
Ambil contoh shalat qasar duhur.
Tata caranya sebagai berikut:
  1. Berniat shalat dengan cara qasar
  2.  Takbiratul ihrom
  3.  Shalat dua rakaat
  4. Salam


 C.  Shalat Jamak Qasar
  1. Pengertian Shalat Jamak Qasar.
Shalat jamak qasar adalah menggabungkan dua shalat fardu dalam satu waktu sekaligus meringkas (qasar).
Hukum dan syaratnya sama dengan salat jamak dan shalat qasar. Shalat jamak qasar dapat dilaksanakan secara takdim maupun ta’khir.
Umat Islam dapat melakukan shalat fardu secara jamak, qasar maupun jamak qasar asalkan memenuhi syarat sahnya. Hal ini merupakan rukhsah (keringanan )yang diberikan Allah agar manusia tidak meninggalkan shalat fardu walau dalam keadaan apapun. Allah tidak menghendaki kesukaran pada hambaNya.

   2.   Praktik Shalat Jamak Qasar
         Salat Jamak Qasar menggunakan Jamak Takdim: misalnya salat duhur dengan asar. Tata caranya sebagai berikut:
  1. Berniat menjamak qasar salat duhur dengan jamak takdim.
  2. Takbiratul ihram.
  3. Salat duhur dua rakaat (diringkas)
  4. Salam.
  5. Berdiri dan niat salat asar qasar
  6. Takbiratul ihram.
  7. Salat asar dua rakaat (diringkas)
  8. Salam
Salat Jamak Qasar menggunakan Jamak Ta’khir: misalnya salat magrib dengan ‘isya. Tata caranya sebagai berikut:
  1. Berniat menjamak qasar salat magrib denganjamak ta’khir
  2. Takbiratul ihram.
  3. Salat magrib tiga rakaat seperti biasa.
  4. Salam.
  5. Berdiri dan niat salat isya’ qasar
  6. Takbiratul Ihram.
  7. Salat isya’ dua rakaat (diringkas)
  8. Salam









Senin, 03 Desember 2012

GURU BUKAN SEKEDAR PROFESI, MELAINKAN LEBIH DARI PROFESI!



   GURU BUKAN SEKEDAR PROFESI, MELAINKAN LEBIH DARI PROFESI!

Pengertian Guru

           Guru itu adalah sesosok manusia yang pantas untuk dicontohi dan diteladani karena memang pada diri seorang guru ada suri teladan yang baik. Guru berasal dari bahasa sansekerta yang berarti seorang pengajar suatu ilmu.


Arti umum

        Guru adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar atau menengah. Dalam definisi yang lebih luas setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap sebagai guru.

Arti khusus

        Dalam agama hindu, guru merupakan simbol bagi suatu tempat yang suci berisi ilmu dan juga pembagi ilmu. Seorang guru adalah pemandu spiritual atau kejiwaan murid-muridnya.
        Dalam agama budha, guru adalah orang yang memandu muridnya dalam jalan menuju kebenaran.
Orang India, China, Mesir dan Israel menerima pengajaran dari guru yang merupakan seorang imam atau nabi. Oleh sebab itu seorang guru sangat dihormati dan terkenal di masyarakat serta menganggap guru sebagai pembimbing untuk mendapatkan keselamatan dan kehormatan bahkan lebih dari orang tua mereka.

Guru di Indonesia

        Secara formal, guru adalah seorang pengajar di sekolah negeri ataupun swasta yang memiliki kemampuan berdasarkan latar belakang pendidikan formal dan telah memiliki ketetapan hukum yang syah sebagai guru berdasarkan undang-undang guru yang berlaku di Indonesia.

Munculnya Istilah Profesi Guru

        Profesi guru pada mulanya dikonsep sebagai kemampuan memberi dan mengembangkan pengetahuan peserta didik. Tetapi beberapa dasawarsa terakhir konsep, persepsi dan penilaian terhadap guru mulai bergeser. Hal itu selain karena perubahan pandangan manusia terhadap integritas seseorang yang berkaitan dengan produktivitas ekonominya, juga karena perkembangan yang cukup radikal di bidang pengetahuan dan teknologi terutama bidang informasi dan komunikasi yang kemudian mendorong pengembangan media belajar dan paradigma teknologi pendidikan dalam perkembangan berikutnya, sekaligus sebagai biasnya, guru mengalami dilema eksistensialnya. Selain itu, dengan melihat bergesernya nilai-nilai di mata peserta didik sebagai generasi pembangunan di masa mendatang yang ditandai dengan seringnya pelajar ikut dalam kegiatan tawuran, genk motor, melawan orang tua, tentu memberikan isyarat bahwa pendidikan di Indonesia bergeser ke arah yang tidak diinginkan.
        Untuk pengembalian nilai-nilai itu, muncul ide bahwa perlunya pendidikan karakter sejak dini. Sebagai wujud dari komitmen, pada tanggal 30 Desember 2005 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara resmi memutuskan serta menetapkan UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta diundangkan dalam Lembaga Negara RI Tahun 2005 Nomor 157. Dengan adanya undang-undang tersebut guru bukan lagi sebagai kegiatan sampingan, tetapi sebagai profesi yang memiliki payung hukum.

Stigma Perubahan Gaya Hidup Guru Akibat “Guru Sebagai Profesi”

        Disadari atau tidak, kini makin terasa menurunnya apresiasi sebagian kalangan masyarakat terhadap istilah “profesi guru”. Hal itu tampak jelas dengan munculnya fenomena kecemburuan sosial pascasertifikasi. Guru yang menerima tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok telah dicitrakan sebagai “orang kaya baru” dengan gaya hidup yang berubah drastis. Sedemikian hebatkah tampilan sosial seorang guru yang telah menerima tunjangan profesi guru, hingga mampu bersaing dengan para koruptor yang biasa berselingkuh dengan para mafia peradilan?
Harus diakui tunjangan profesi telah mampu mengangkat kesejahteraan guru dari kubangan keterpinggiran ekonomi yang dari tahun ke tahun yang tak pernah lepas dari stigma “Omar Bakri”. Guru juga bersyukur pada akhirnya amanat UU No 20 2003 benar dilaksanakan oleh para pengambil kebijakan. Namun sungguh naif tunjangan itu dicitrakan telah membuat gaya hidup seorang guru berubah. Karena guru sebagai pencerah peradaban adalah sebuah keniscayaan sejarah. Artinya, mereka bukan sekedar pentransfer ilmu semata, tetapi juga dituntut agar mampu mengilhami para “cantrik” nya menjadi generasi masa depan sesuai dengan kebutuhan dan semangat zaman.
         Dunia pendidikan tak mungkin lepas dari sosok seorang guru yang berdiri di garda depan, berhadapan dengan anak didik secara langsung. Tegak lurusnya pendidikan kita sangat bergantung pada kondisi guru, baik secara kwantitas terlebih kwalitas.
         Peningkatan kwantitas guru akan mudah dipenuhi oleh perguruan tinggi pendidikan, namun tidak untuk kwalitas. Padahal kwalitas guru akan berimbas langsung pada kwalitas anak didik. Sayangnya diskursus tentang guru selama ini kalah hiruk pikuk daripada soal kontroversi UN atau kurikulum yang tak konsisten. Anggaran pendidikan yang belum 20%-nya dianggap sebagai penghambat kemajuan pendidikan. Isu guru ramai dan rentang sertifikasi yang memiliki konsekwensi kenaikan pangkat dan gaji, tetapi belum tentu menjamin kwalitas. Isu-isu tersebut seharusnya menjadi catatan kaki dari isu yang lebih tragis, bahwa kita sangat kekurangan guru yang berkwalitas. Secara kwantitas saja belum terpenuhi apalagi secara kwalitas dengan budaya pendidikan serta tujuan pendidikan yang kian hedonistik dan konsumeristik.
        Kendati dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, guru telah menjadi profesi yang cukup menarik minat bagi para calon guru. Terlebih menjadi PNS adalah impian  banyak orang. Peran guru dalam dunia pendidikan mengalami titik nadir ketika dianggap sebagai sebuah profesi dengan konsekwensi gajinya. Asketisme guru yang lekat dengan mitos pahlawan tanpa tanda jasa, luntur karena guru butuh gaji sebagai pemenuh kebutuhan. Guru sebagai profesi telah menjerumuskan guru pada lubang hitam konsumerisme, yang mengendalikan relasi guru-siswa sebagai produsen dan konsumen dalam “ekonomi pendidikan”. Ini memang dilematis, karena gaji guru tak cukup untuk menutup kebutuhan primer. Apa yang dilakukan mereka akhirnya hanya bersifat “sekedar”. Sekedar untuk datang ke sekolah, mengajar, mentranfer ilmu lalu pulang dan bergelut kembali dengan manusia lain yang memiliki tanggung jawab ekonomi untuk diri sendiri maupun keluarga.

Alasan Mengapa Guru Bisa Menjadi Sebuah Profesi

        Guru di era sekarang ini bukan hanya sebagai tenaga pendidik, tetapi telah menjadi sebuah profesi yang undang-undangnya telah diatur tersendiri oleh pemerintah di dalam Undang-Undang Guru dan Dosen yang bertujuan untuk lebih mensejahterakan dan mensejajarkan para guru dengan jenis profesi lainnya dengan diadakannya sertifikasi guru. Sehingga dari sisi materi para guru dan dosen tersejahterakan.
        Beberapa tahun sebelum adanya sertifikasi guru, menjadi guru bukanlah pilihan yang utama. Banyak orang menjadi guru karena terpaksa, daripada menganggur atau tidak punya pekerjaan. Di kacamata mereka, seorang guru tak lebih dari orang yang memiliki penghasilan kecil. Begitu pula, para lulusan sekolah lebih senang untuk memilih masuk di fakultas kedokteran, teknik, kehutanan, atau pertanian ketimbang keguruan. Inilah suatu faktor yang menyebabkan menurunnya kwalitas seorang guru. Lulusan-lulusan sekolah yang pintar dan cerdas telah terlebih dahulu untuk memilih fakultas-fakultas tersebut. Namun, sejak pemerintah memberlakukan program sertifikasi guru semua persepsi berubah. Semua jurusan dan fakultas keguruan penuh dengan mahasiswa. Sementara fakultas-fakultas lain berubah sepi. Begitu pula di daerah-daerah, banyak sarjana nonguru memaksa diri untuk menjadi seorang guru demi mendapatkan kesempatan yang sama dalam masalah sertifikasi. Notabenenya, mereka yang tidak memegang akta IV atau ijazah guru, bukanlah dipersiapkan menjadi guru. Sehingga hasil usaha mereka tidak sempurna dan tidak memuaskan.

Lalu, setujukah Anda bahwa guru itu hanyalah  sebatas profesi?

        Kalau menjadi seorang guru hanya terbatas pada profesi, maka sulit untuk menjadi guru yang profesional. Karena orang yang berada pada profesi tertentu belum tentu memiliki jiwa profesionalisme. Maka seharusnya menjadi guru itu lebih mengarah pada panggilan jiwa demi menghidupkan pendidikan di Indonesia untuk menuju bangsa yang cerdas dan bermartabat. Karena kalau guru didasari oleh panggilan jiwa, kehadiran seorang guru di tengah siswa-siwanya bukan sekedar tranformator ilmu belaka, melainkan melebihi dari itu. Mereka akan menjadi sosok yang benar-benar pantas untuk dijadikan sebagai teladan dalam segala lini kehidupan seorang siswa. Artinya, ketika kita menjadi guru segenap kesadaran batin dan kesadaran pikiran harus dilibatkan, melampaui dari sekedar keterampilan teknis menyangkut metodologi pembelajaran. Masalah metodologi pembelajaran itu bukan hal yang tidak penting, karena keterampilan teknis menjalankan tugas keguruan adalah bagian dari panggilan jiwa seorang guru untuk menguasainya. Tetapi yang ingin ditekankan di sini adalah ketika dianggap sebagai pnggilan jiwa, guru tidak dianggap selesai menunaikan kewajibannya di dalam kelas. Ia harus menjadi pendidik, pendidik yang mampu menjaga perilaku dan perkataan baik di dalam atau di luar kelas, di dalam sekolah atau di luar sekolah. Saya pikir, inilah tugas yang sangat berat untuk guru. Tak bisa seorang guru memIsahkan dirinya antara di sekolah dan di luar sekolah. Tak bisa sepenuhnya guru memisahkan tugasnya di ranah publik dan ranah privasi. Ucapan dan tindakannya akan dimaknai sebagai guru dimana dan kapanpun mereka berada.

Keteladanan

        Inilah yang rasa paling berat menjadi guru. Bukan berarti saya menganggap bahwa pada profesi lain tidak berat. Sama sekali tidak. Yang ingin saya katakan, guru secara intens bersinggungan dengan tugas mendidik. Ia memiliki murid yang siap mengikutinya. Ketika guru memberi contoh yang tidak baik maka menara yang ia bangun dengan kata-kata terindah sekalipun, hakikatnya hancur. Karena kata- kata di hadapan muridnya butuh referensi, yaitu tindakan. Tidak berhenti pada murid, masyarakat luas siap siap memasang mata memelototi perilaku keseharian guru. Ketika guru memberikan keteladanan yang baik, maka menumbuhkan inspirasi dan optimisme bahwa moralitas, nilai-nilai dan etika masih ada. Guru di Gugu ditiRU, bukan sekedar profesi.

salam hangat dari Indra Hidayat, semoga bermanfaat

Selasa, 06 November 2012

MAKNA WAWASAN PENDIDIKAN , ASAS-ASAS PENDIDIKAN DAN UNSUR 5W+1H DALAM PENDIDIKAN


kawan-kawan, saya cukup lelah mengumpulkan artikel ini dari berbagai sumber... tapi tidak mengapa, saya senang bisa menyelesaikannya dan bisa kalian baca... makasih ya dah berkunjung ke blog ku.... :)
 


WAWASAN PENDIDIKAN, MEMANUSIAKAN MANUSIA
http://3.bp.blogspot.com/-69y1NIyNmdM/TYaw_wWLaZI/AAAAAAAAAzY/-HDkQOZb8rc/s1600/pendidikan.jpg
Apakah itu wawasan kependidikan?
wawasan kependidikan adalah pengetahuan yang harus dimiliki oleh para pendidik maupun calon pendidik tentang bagaimana memanusiakan manusia.
Educational horizon (wawasan kependidikan) is the way you perceive education today and how it will go in the future – for the better or worse. More importantly – how you are going to move to a better education.
“Wawasan kependidikan adalah bagaimana kamu (kita) melihat pendidikan sekarang ini dan bagaimana kelanjutannya dimasa mendatang- menjadi lebih baik maupun lebih buruk. Yang lebih penting lagi- bagaimana kamu (kita) akan bergerak maju untuk pendidikan yang lebih baik.”
Pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan
Dalam berbagai sumber tulisan tentang pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Menurut Kihajar Dewantara mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan.

Ki Hajar Dewantara juga pernah mengatakan : “Pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya lahir, sedang merdekanya hidup batin itu terdapat dari pendidikan.“Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnya lahir atau batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri.“Maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk perikehidupan bersama ialah memerdekakan manusia sebagai anggota dari persatuan.

Memanusiakan Manusia Melalui Konsep-Konsep Dasar Manusia


Manusia tidak hanya sebatas menjadi homo,tetapi harus meningkatkan diri menjadi human.Manusia harus memiliki prinsip,nilai,dan rasa kemanusiaan yng melekat pada diri nya.Manusia memiliki akal budi yang bisa memunculkan rasa atau prikemanusiaan.Prikemanusiaan inilah yang mendorong prilaku baik sebagai manusia.

Memanusiakan manusia berarti perilaku manusia untuk senantisa menghargai dan menghormati harkat & derajat manusia lainnya.Memanusiakan manusia adalah tidak menindas sesama,tidak menghardik,tidak bersifat kasar,tidak menyakiti,dan prilaku-prilaku lainnya.
Memanusiakan manusia berarti memanusiakan antarsesama,memanusiakan manusia menguntungkan bagi diri sendiri dan orang lain.Bagi diri sendiri menunjukan harga diri dan nilai luhur pribadinya sebagai manusia,bagi orang lain memberikan rasa percaya,hormat,kedamain,dan kesejahteraan hidup.Sebaliknya,sikap tidak manusiawi terhadap manusia lain hanya akan merendah kan harga diri dan martabatnya sebagai manusia yang sesungguhnya makhluk mulia.sedangkan bagi orang lain sebagai korban tindakan yang tidak manusiawi dan menciptakan penderitaan,kesusahan,ketakutan,maupun rasa dendam

Sejarah membuktikan bahwa perseteruan,pertentangan dan peperangan yang terjadi di berbagai belahan dunia karena manusia belum mampu memanusiakan manusia lain.Sikap dan perilaku manusia didasarkan atas prinsip kemanusiaan yang disebut the mankind is one.Prinsip kemanusiaan tidak membeda-bedakan kita dalam memperlakukan orang lain atas dasar warna kulit,suku,agama,ras,asal,dan status sosial ekonomi.Sebagai makhluk tuhan yang sama harkat dan martabat nya dihadapan Tuhan sudah selayaknya kita bersikap manusiawi terhadap orang lain,apapun latar belakangnya.

Manusia itu mahluk ciptaan-Nya yang unik. Karena diberikan kelebihan dari akal budinya, tapi juga memiliki kekurangan dibandingkan makhluk lainnya. Begitulah indahnya kehidupan. Dengan hanya mengandalkan otaknya, manusia bisa berdigdaya menundukkan alam ini. Manusia harus dimanusiakan. Seorang manusia berbeda antara satu dengan lainnya. Tidak ada yang sama persis. Oleh karenanya dalam menangani manusia terdapat aspek yang sifatnya “customized”, yang berbeda antara menangani satu orang dengan orang lain. Namun sekali lagi manusia adalah manusia. Disamping memiliki kekhasan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, terdapat pula kesamaan antara seorang manusia dengan manusia lain.

Setiap manusia ingin hidup nyaman, ingin dihargai, ingin dimengerti.Dalam konsep pengendalian, apabila kita berhasil memberikan apa yang diperlukan oleh orang-orang disekitar kita, maka orang-orang disekitar kita akan lebih mudah dan lebih merasa nyaman saat harus kita kendalikan. Dengan kata lain, karena manusia ingin hidup nyaman maka apabila kita berhasil memberikan kenyamanan, kita akan lebih mudah mengendalikan orang tersebut. Jadi, bila mereka ingin dihargai, maka berikan penghargaan. Mereka ingin dimengerti, maka berikan pengertian. Itu kiatnya. Berikan apa yang mereka inginkan, karena sebagian besar yang mereka inginkan sebetulnya kita mampu untuk memberikannya. Iman dan Takwa adalah buah kesadaran, keyakinan – yang mana sudah ada di dalam diri setiap manusia. Kesadaran itu, keyakinan itu hanya perlu diungkapkan. Dan, pengungkapan itu menjadi tugas Agama.

Kalau kita berhadapan dengan kekhasan orang, maka kita perlu memiliki soft skill untuk memahami orang per orang. Dari kebutuhan umum orang-orang disekitar kita yang dapat kita generalisasikan, ternyata ada prioritas yang berbeda antara satu dengan lainnya.

Sadar atau tidak, pendidikan selain untuk mencerdaskan bangsa, juga membatu untuk mendewasakan bangsa, sehingga bangsa bisa memiliki karakter yang berpendidikan moral. Secara mendasar, pendidikan ada, karena ada manusia. Oleh karena itu, pendidikan ada hanya untuk manusia, bukan untuk hewan atau sejenisnya. Hal mendasar seperti inilah yang perlu kita catat besar-besar di kepala kita, khususnya bagi mereka yang menjadi seorang guru. Sebab, kita sering kali melupakan bahwa orang yang menjadi amanat kita adalah manusia yang memiliki keragam dan keseragaman yang begitu kompleks.

Seperti yang telah kita singgung di atas.Manusia memiliki kekhasan tersendiri.Manusia yang satu berbeda dengan manusia yang lainnya.Namun pada saat sekarang,banyak sistem-sistem atau prosedur yang dibuat oleh manusia sendiri tetapi menjadikan manusia terbelenggu akan hal tersebut.

• Dalam Segi Pendidikan

Realita yang terjadi, murid dianggap sebagai sebuah robot. Murid yang masuk pada salah satu sekolah yang sudah memiliki visi, misi dan tujuan. Seketika itu, pemilik lembaga langsung men-set up semau lembaga mereka. Murid adalah manusia, ia bukanlah robot yang terbuat dari bahan-bahan mekanik yang mudah di-setting untuk mengerjakan perintah-perintah, diarahkan semaunnya dan sebagainya.Pendidikan adalah untuk manusia, begitu juga sekolah adalah sekolahnya manusia.

Jadi, lembaga pendidikan seharusnya mengantarkan kemauan atau cita-cita muridnya, bukan sebaliknya murid mengantarkan kemauan atau cita-cita sekolah. Pada akhirnya, semua murid yang masuk pada lembaganya, langsung di-make up lembaga untuk siap tanding melawan pesaing-pesaing dari lembaga pendidikan lainnya atau untuk menjadi jagoan di bidang mata pelajatan agar citra lembaga pendidikan terangkat.

Boleh saja suatu lembaga memiliki cita-cita seperti itu, namun yang patut diketahui oleh pengelola lembaga bahwa lembaga pendidikan harus dapat memberikan konstribusi dalam menghantarkan cita-cita muridnya. Sebab, tidak semuanya murid dapat nyaman dan bisa untuk menuruti kemauan lembaga.Sudahkah kita memahami karakter seorang murid kita?

Otoritas seorang guru memaksakan murid untuk menjadi pandai adalah kewajiban ke nomor sekian, melainkan kewajiban seorang guru adalah bagaimana guru dapat menyampaikan pengetahuannya dengan baik, sehingga murid yang mereka hadapi memahami pelajaran-pelajaran yang ia sampaikan.Seorang guru tidak selalu dibutuhkan, ia yang pandai dalam bidang keilmuan, ia yang juara semasa studinya dan lainya. Tetapi juga, guru harus bisa memandaikan, mencerdaskan dan mendewasakan muridnya. Tidak jarang, guru yang lulusan luar negeri dan berpengatahuan banyak tetapi ketika ia mengajar di sekolah tetap saja tidak disukai murid-muridnya, karena tidak dapat mengajar dengan baik.
Entah dengan sekarang, tapi bertahun-tahun lalu kita sering menemukan seorang anak yang berhenti sekolah gara-gara belum membayar uang bulanan sekolah. Itu terjadi di sekolah, lembaga yang bidang utamanya mengajar dan mendidik manusia. Maka, tidak mengherankan jika dari sekolah tersebut menghasilkan manusia-manusia yang ‘kejam’, tapi dibenarkan oleh prosedur.
Komputer dan robot adalah contoh benda-benda yang bisa melakukan segalanya sesuai prosedur, dan harus sesuai prosedur, karena keduanya diciptakan untuk itu. Maka, jika manusia dituntut harus selalu melakukan segalanya sesuai prosedur dan tidak boleh sedikitpun keluar dari prosedur tersebut, bukankah itu sebuah cara untuk menjadikan manusia sebagai benda.
Contoh sebuah prosedur yang baik, yang dapat kita temukan adalah prosedur shalat. Normalnya, shalat wajib dilakukan dengan berdiri. Akan tetapi, prosedur normal itu boleh dan malah dianjurkan untuk dilanggar jika seseorang dalam kondisi sakit, atau tidak mampu untuk melakukan shalat. Misalnya sambil duduk. Jika tidak mampu duduk, boleh berbaring. Anda juga boleh bertayammum dalam keadaan sakit atau dalam situasi tidak ada air sama sekali. Justru ketika seseorang tidak mampu, tapi memaksakan diri, maka orang tersebut wajib untuk diberi peringatan.Prosedur semacam itu, terus terang saja, sulit ditemukan.

seperti apakah manusia itu semestinya?
Yang pertama, setiap manusia itu dibentuk ataupun dibekali oleh pendidikan agar dapat merasakan kemerdekaan dirinya. Merdeka berarti kebebasan. Jadi melalui pendidikan kita dididik agar kita menjadi individu yang bisa “melawan” terhadap penindasan yang dialaminya. Yang kedua, kita didik agar menjadi manusia yang memiliki akal budi, yang mampu membedakan mana yang benar maupun yang salah, yang berani memperjuangkan kebenaran apapun risikonya.
Manusiawi mempunyai arti memperlakukan seseorang itu seperti memperlakukan diri sendiri. Jadi disini kita tidak boleh membedakan seseorang itu berdasarkan golongannya, status sosialnya, maupun keterbatasannya dan hal-hal lain yang dapat menciptakan perbedaan bagi sesama manusia. Karena setiap manusia itu mempunyai hak asasi yang sama, yang sudah melekat sebelum manusia itu dilahirkan. Dan juga manusia itu adalah makhluk sosial yang saling memiliki ketergantungan satu sama lain. Yang hidup berdampingan dan hidup saling melengkapi.
Melihat keterangan tersebut maka dapat kita bayangkan betapa indahnya manusia itu diciptakan Sang Pencipta. Namun manusia itu sendirilah yang membuat hidupnya tidak manusiawi karena keserakahan, dan menyalahgunakan kehendak bebas yang telah diberikan oleh Allah.
Pendidikan yang masih “Memintarkan” belum “Memanusiakan”

Pendidikan adalah proses pendewasaan anak didik agar mampu menjalani kehidupan pada zamannya, sehingga dunia pendidikan harus melahirkan sikap insan cendekia. Tanpa sikap cendekia dan semangat intelektualitas maka pendidikan hanya akan menghasilkan orang-orang cacat moral. Jika suatu bangsa mengalami kebobrokan berarti ada yang tidak beres dalam proses pendidikan. Filosofi semangat pendidikan adalah memanusiakan manusia, bukan memintarkan manusia. Itulah beberapa pernyataan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Mahfud MD dalam acara syawalan 1433 H di Auditorium Universitas Negeri Yogyakarta.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqSrwgdnR4ICHWD-zsAGQb-Cv7nP-DmFvdOf5Njpsu4ari2d8u2nWwK6aij6TQDk_-dVLxy1cK4V2_bdGAyPmY1iaoSdTo7ZO5Z9cAmWyYcNnhyphenhyphenu3seyxEwLIDaP57FbPL5KVTZBJCwTM/s320/FILE0003.JPGMenarik menyikapi hal tersebut, karena selain mengungkap harapan besar terhadap dunia pendidikan tetapi juga mengkritisi keadaan dunia pendidikan yang seolah-olah menjadi tersangka utama dalam “kebelumberhasilan” memanusiakan manusia Indonesia walaupun sudah bisa dikatakan “berhasil” dalam memintarkan manusia Indonesia.

Bukti bahwa pendidikan kita saat ini “sudah” berhasil dalam memintarkan manusia tolak ukurnya mudah yaitu dengan melihat tingkat kelulusan ujian akhir nasional peserta didik. Jika tingkat kelulusan ujian akhir nasional di suatu daerah tinggi maka bisa dikatakan bahwa pendidikan telah mampu memintarkan peserta didik. Semakin banyak peserta didik yang lulus maka semakin “berhasil” pendidikan dalam memintarkan peserta didik. Tetapi apakah dengan kemampuan memintarkan peserta didik tersebut pendidikan juga telah mampu memanusiakan peserta didik? Tolak ukurnyapun tidak terlalu sulit yaitu dengan melihat sikap peserta didik. Saat bertemu dengan orang yang lebih tua apakah peserta didik bersikap sopan dan santun? Apakah peserta didik dalam berkendara sudah mematuhi peraturan lalu lintas? Apakah peserta didik menghormati keragaman suku, adat, ras dan agama? Apakah peserta didik malu saat melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat? semua pertanyaan tersebut akan mengarah kepada jawaban bahwa dunia pendidikan kita sudah mampu memanusiakan manusia atau belum. Tentu semua dari kita bisa menjawabnya dengan argumentasi berbeda-beda.

Terkait atau tidak terkait dengan kemampuan dunia pendidikan dalam memintarkan ataupun memanusiakan peserta didik, tentu kita tidak boleh memvonis bahwa dunia pendidikan yang harus bertanggung jawab terhadap kebobrokan bangsa saat ini. Apalagi menyalahkan pendidik sebagai “ikon” dunia pendidikan. Segenap elemen bangsa bertanggungjawab terhadap ketidakberhasilan pendidikan kita dalam memanusiakan peserta didik. Pemerintah dalam hal ini adalah kementerian pendidikan nasional juga bertanggungjawab karena sebagai komando tertinggi arah kebijakan pendidikan seakan “hanya” mengeluarkan kebijakan dengan sedikit realisasi dan kontrol atas kebijakan tersebut.

Pendidikan karakter yang digaungkan dan menjadi angin surga akan terciptanya pendidikan yang mampu memanusiakan peserta didik sampai saat ini pelaksanaan di lapangan hanya terbatas pada rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dimiliki guru. Sedangkan tahap pelaksanaan masih sangat jauh dari yang diharapkan. Hal ini terjadi karena selain guru diharapkan menanamkan pendidikan karakter pada peserta didik tetapi dilain pihak guru juga harus membelajarkan materi pembelajaran yang mana materi tersebut begitu banyak. Sehingga yang terjadi guru hanya terfokus pada penyampaian materi pembelajaran karena materi itulah yang akan diujikan nantinya di ujian akhir nasional, sedangkan pendidikan karakter yang sebenarnya justru menjadi target pendidikan malah dikesampingkan sehingga sampai saat ini pendidikan hanya mampu memintarkan peserta didik tapi belum mampu memanusiakan peserta didik.

Jika memang ingin pendidikan yang memintarkan sekaligus memanusiakan peserta didik, maka cara yang paling efektif dan efisien adalah dengan menghapuskan ujian akhir nasional, sehingga para guru akan bertanggungjawab penuh terhadap “output sikap” peserta didik yang pada akhirnya juga akan berimbas kepada “output nilai” peserta didik, bukan sebaliknya. Nilai bukanlah patokan “dimilikinya ilmu”, tetapi proses dalam belajar itulah yang seharusnya menjadi acuan utama. Selama sistem ujian akhir nasional kita anut maka yang  “dikejar” bukanlah ilmu lagi tetapi nilai. Dan jika hal ini sudah terjadi maka jangan harap pendidikan karakter yang didambakan akan terwujud.

Perbedaan fasilitas yang dimiliki oleh sekolah juga menjadi pemicu kekurangberhasilan  pendidikan dalam memintarkan maupun memanusiakan peserta didik. Beban sekolah dengan fasilitas kurang memadai tentu lebih berat dibanding sekolah dengan fasilitas yang lebih memadai. Fasilitas pembelajaran yang dimiliki sekolah dengan kurikulum pendidikan saat ini ibarat “kelas ringan” melawan “kelas berat”. Pendidik dengan fasilitas pembelajaran terbatas tentu harus berpikir ekstra dalam merencanakan pembelajaran karena materi yang harus disampaikan sangat banyak dan berat bagi peserta didik.

Masyarakat sebagai lingkungan terlama peserta didik beraktivitas juga memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan atau kekurangberhasilan pendidikan dalam memanusiakan peserta didik. Di lingkungan masyarakat peserta didik melihat langsung teladan dari orang-orang yang dikenalnya. Sebaik apapun pembelajaran karakter yang dilakukan di sekolah tetapi jika lingkungan masyarakat kurang mendukung dalam meneladankan karakter maka yang akan dipahami dan ditiru peserta didik tentulah yang dicontohkan warga masyarakat.

Melihat betapa urgentnya peran pemerintah, pendidik dan masyarakat dalam usaha memintarkan dan memanusiakan peserta didik maka kerjasama ketiga pihak sangat diharapkan, sehingga cita-cita pendidikan untuk menghasilkan peserta didik yang mumpuni dalam segi ilmu dan moral dapat tercapai. Semoga!



5W+1H PENDIDIKAN


1.     WHATà apa itu Pendidikan ?

a.       Menurut Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia) menjelaskan tentang pengertian pendidikan yaitu: Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
b.      Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
c.       Menurut UU No. 20 tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
d.      Sedangkan pengertian pendidikan menurut H. Horne, adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada vtuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia.
e.       Dari beberapa pengertian pendidikan menurut ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Pendidikan adalah Bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain.

2.      WHO--à Siapa Pendidik itu?
Dari segi bahasa pendidik adalah orang yang mendidik. Dari segi istilah merupakan profesi atau keahlian tertentu yang melekat pada seseorang yang tugasnya berkaitan dengan pendidikan.
Istilah pendidik dalam beberapa literatur kependidikan sering diwakili oleh istilah guru. Guru sebagai orang yang kerjanya mengajar / memberikan pengajaran di sekolah / kelas. Artinya, guru bekerja dalam pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam membantu anak – anak mencapai kedewasaan masing – masing. Guru tidak hanya menyampaikan materi pengetahuan tertentu, tetapi ikut aktif serta kreatif dalam mengarahkan perkembangan anak didiknya untuk menjadi anggota masyarakat sebagai orang dewasa. Dari sini, kita bisa pahami bahwa kedudukan seorang guru sangat penting dalam proses pendidikan karena dia bertanggungjawab dan menentukan arah pendidikan dalam rangka mencetak generasi bangsa yang unggul disegala bidang.
Hasan Fahmi mengutip salah satu ucapan seorang penyair zaman modern, yang berkenaan dengan kedudukan guru. Syair tersebut artinya “Berdirilah kamu seorang guru dan hormatilah dia”. Seorang guru itu hampir mendekati kedudukan seorang rasul, yaitu menempati urutan kedua sesudah martabat Rasul

Siapa peserta didik itu?
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu.
Sumber (wikipedia Bahasa Indonesia)
peserta didik adalah komponen masukan dalam sistem pendidikan, yang selanjutnya diproses dalam proses pendidikan, sehingga menjadi manusia yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Sebagai suatu komponen pendidikan peserta didik dapat ditinjau dari berbagai pendekatan, antara lain: pendekatan social, pendekatan psikologis, dan pendekatan edukatif/paedagogis.
1.      Pendekatan sosial, peserta didik adalah anggota masyarakat yang sedang disiapkan untuk menjadi anggota masyarakat yang lebih baik. Sebagai anggota masyarakat, dia berada dalam lingkungan keluarga, masyarakat sekitarnya, dan masyarakat yang lebih luas. Peserta didik perlu disiapkan agar pada waktunya mampu melaksanakan perannya dalam dunia kerja dan dapat menyesuaikan diri dari masyarakat. Kehidupan bermasyarakat itu dimulai dari lingkungan keluarga dan dilanjutkan di dalam lingkungan masyarakat sekolah. Dalam konteks inilah, peserta didik melakukan interaksi dengan rekan sesamanya, guru-guru, dan masyarakat yang berhubungan dengan sekolah. Dalam situasi inilah nilai-nilai social yang terbaik dapat ditanamkan secara bertahap melalui proses pembelajaran dan pengalaman langsung.
2. Pendekatan Psikologis, peserta didik adalah suatu organisme yang sedang tumbuh dan berkembang. Peserta didik memiliki berbagai potensi manusiawi, seperti: bakat, inat, kebutuhan, social-emosional-personal, dan kemampuan jasmaniah. Potensi-potensi itu perlu dikembangkan melalui proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah, sehingga terjadi perkembangan secara menyeluruh menjadi manusia seutuhnya. Perkembangan menggambarkan perubahan kualitas dan abilitas dalam diri seseorang, yakni adanya perubahan dalam struktur, kapasitas, fungsi, dan efisiensi. Perkembangan itu bersifat keseluruhan, misalnya perkembangan intelegensi, sosial, emosional, spiritual, yang saling berhubungan satu dengan lainnya.
3. Pendekatan edukatif/paedagogis, pendekatan pendidikan menempatkan peserta didiksebagai unsur penting, yang memiliki hak dan kewajiban dalam rangka sistem pendidikan menyeluruh dan terpadu.

3.     WHYàMengapa Pendidikan Penting?



http://fikrirasyid.com/wp-content/uploads/2009/12/onelaptopperchild-actual.jpg

Beberapa hari yang lalu, saat saya berada diperjalanan dari rumah saya di cikutra ke kampus di ledeng (saya suka memikirkan banyak hal secara acak ketika berada di kendaraan), pikiran saya memunculkan pertanyaan yang sangat sederhana tapi penting: mengapa pendidikan penting?

Mewariskan kebudayaan

Saya teringat salah satu mata kuliah landasan pendidikan yang saya ambil tahun kemarin. Salah satu esensi terpenting pendidikan adalah memanusiakan manusia. Pendidikan diciptakan untuk memanusiakan manusia. Yang membedakan manusia dan bukan manusia adalah keberbudayaannya. Pendidikan diciptakan untuk mewariskan kebudayaan terdahulu agar generasi berikutnya mendapatkan kebajikan generasi terdahulu sehingga mereka memulai start di garis finish generasi terdahulu yang memungkinkan mereka mencapai apa yang belum sempat dicapai oleh generasi terdahulu.
Dengan itulah mereka menjadi manusia, manusia yang lebih baik. Dengan memiliki kebudayaan, dan menciptakan kebudayaan yang lebih baik.

Cepat atau lambat, kita semua akan mati

ini adalah poin yang membuat saya tersadar: tidak perduli sehebat apa anda sekarang, anda (dan kita semua) memiliki batas bernama kematian. Saya teringat kelas language in society yang saya ambil semester ini: Satu bahasa mati ketika tidak ada lagi pembicara / pengguna bahasa bahasa tersebut. Ketika generasi sunda setelah saya lebih memilih berbicara bahasa indonesia alih-alih berbahasa sunda dan semua pembicara bahasa sunda dari generasi saya keatas sudah habis (red: wafat), bahasa sunda juga turut habis riwayatnya.

Berfikir “terbuka”

Jika memang pendidikan sepenting itu, apa yang harus kita lakukan untuk menyikapinya? kita mungkin bukan penentu kebijakan atau pelaksana pendidikan seperti guru / dosen / dll, tapi ada banyak hal yang dapat kita lakukan. Hal paling sederhana tapi luar biasa bermanfaat adalah berbagi apa yang kita ketahui. Saya pribadi percaya bahwa berbagi atau bertukar pikiran atau menyampaikan pemikiran adalah rantai pendidikan yang paling sederhana dan paling efisien. Pikirkan mana yang lebih anda ingat: ceramah dosen di kelas 3 SKS yang panjang dan membosankan atau diskusi penuh ide segar dari kolega anda?
Mungkin beberapa dari kita merasa terancam dengan berbagi apa yang kita ketahui karena apa yang kita ketahui merupakan ‘kunci’ untuk mendapatkan penghasilan. Era keterbukaan sudah ada di depan mata (industri yang sudah merasakan epidemi-nya adalah industri web yang bahkan harus terbuka dan menciptakan peluang untuk pihak ketiga untuk berkolaborasi agar bertahan. Contoh: twitter) dan kelak informasi-informasi termasuk apa yang anda ketahui bisa diakses oleh semua orang. Apakah masih ada secret ingredient itu?
Beberapa dari kita mungkin merasa ‘malas’ atau ‘tidak punya cukup waktu’ untuk berbagi. Coba pikirkan sejenak: ketika usia anda makin senja dan anda tidak lagi cukup tanggap terhadap perubahan, apa yang akan terjadi? Berbagi pasti menciptakan timbal balik karena ada pihak lain yang mendapatkan manfaat dari anda sehingga menciptakan rangkaian kejadian yang ujungnya akan menguntungkan anda. Mungkin ini adalah alasan logis mengapa giving is the only way for receiving.

4.      WHEN --à Kapan Pendidikan Berlangsung?
Pendidikan berlangsung kapanpun, karena mnengingat kebutuhan manusia terhadap pendidikan itu sendiri sangatlah tinggi. Untuk memperoleh pendidikan tidak ada keharusan bagi seseorang untuk menunggu masa dewasa atau masa mereka memiliki kemampuan. Akan tetapi pendidikan itu berlangsung selama seseorang mengerti tentang manfaat dan fungsi pendidikan itu.




5.      WHERE -à Dimana Pendidikan Berlangsung?
Pendidikan bisa berlangsung dimana saja tanpa harus menuntut diri untuk bisa masuk di lembaga pendidikan formal. Pendidikan dapat berlangsung mulai dari rumah kita bersama para anggota keluarga, sampai pada perguruan tinggi. Bagi seseorang yang tidak memiliki kecukupan secara finansial pun, tetap memiliki kewajiban untuk menempuh pendidikan meskipun tempat pendidikan mereka hanyalah berupa tempat yang semi formal atau bahkan tidak formal sama sekali.








ASAS-ASAS PENDIDIKAN


http://ts1.mm.bing.net/th?id=H.4885349996233596&pid=15.1
1.      TUT WURI HANDAYANI
Makna dan arti Tut Wuri Handayani – Ing Ngarso Sun Tulodo – Ing Madyo Mangun Karso, Terdiri dari 3 kalimat ungkapan atau slogan yang dibut oleh bapak pendidikan kita sekaligus Pahlawan nasional Ki Hajar Dewantara. Kalimat ini sering kita dengar pada waktu sekolah atau bisa dilihat pada sebuah gambar/logo Tut wuri Handayani. Meski kalimat ini terlihat sederhana sebenarnya tersimpan makna mendalam sebagai sebuah ungkapan penting dari sebuah keteladanan bagi seorang pendidik atau pemimpin baik moral maupun semangat bagi anak didiknya. 1 Logo Tut Wuri Handayani Warna Makna Semboyan Tut wuri handayani Semboyan “Tut wuri handayani”, atau aslinya: ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Arti dari semboyan ini adalah: tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik). Sehingga Tercipta kalimat : Di Depan, Seorang Pendidik harus memberi Teladan atau Contoh Tindakan Yang Baik, Di tengah atau di antara Murid, Guru harus menciptakan prakarsa dan ide, Dari belakang Seorang Guru harus Memberikan dorongan dan Arahan.

Read more at
http://uniqpost.com/7525/makna-semboyan-tut-wuri-handayani/

2.      BELAJAR SEPANJANG HAYAT
Belajar sepanjang hayat adalah suatu konsep, suatu idea, gagasan pokok dalam konsep ini ialah bahwa belajar itu tidak hanya berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan formal seseorang masih dapat memperoleh pengetahuan kalau ia mau, setelah ia selesai mengikuti pendidikan di suatu lembaga pendidikan formal. Ditekankan pula bahwa belajar dalam arti sebenarnya adalah sesuatu yang berlangsung sepanjang kehidupan seseorang. Bedasarkan idea tersebut konsep belajar sepanjang hayat sering pula dikatakan sebagai belajar berkesinambungan (continuing learning). Dengan terus menerus belajar, seseorang tidak akan ketinggalan zaman dan dapat memperbaharui pengetahuannya, terutama bagi mereka yang sudah berusia lanjut. Dengan pengetahuan yang selalu diperbaharui ini, mereka tidak akan terasing dan generasi muda, mereka tidak akan menjadi snile atau pikun secara dini, dan tetap dapat memberikan sumbangannya bagi kehidupan di lingkungannya1. Belajar erat kaitannya dengan psikologi. Dalam hal ini, Made Pidarta mengemukakan : psikologi atau jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa manusia. Jiwa itu sendiri adalah roh dalam mengendalikan jasmani. Karena itu jiwa atau psikis dapat dikatakan inti dan kendali kehidupan manusia yang berada dan melekat dalam diri manusia itu sendiri.2

Jiwa manusia berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani, sejak dari masa bayi, kanak-kanak dan seterusnya sampai dewasa dan masa tuã. Makin besar anak itu makin berkembang pula jiwanya. Dengan melalui tahap-tahap tertentu dan akhimya anak ito mencapai kedewasaan balk dari segi kejiwaan maupun dari segi jasmani.
Dalam perkembangan jiwa dan jasmani tersebut, manusia perlu belajar. Masa belajar itu bertingkat-tingkat, sejalan dengan fase-fase perkembangannya, sejak masa kanak-kanak sampai masa tua. Dan sini dapat dipahami bahwa belajar merupakan kebutuhan sebagai bekal untuk menempuh kehidupan disepanjang hayatnya.
Melalui pembahasan ini dimaksudkan untuk lebih memahami hakekat belajar dan bagaimana memberikan motivasi bahwa belajar itu sebenarnya berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan sejak dari buaian sampai hang lahat.



3.      KEMANDIRIAN DALAM BELAJAR


kemandirian belajar
kemandirian belajar
Konsep Belajar Mandiri (Self-directed Learning) sebenarnya berakar dari konsep pendidikan orang dewasa. Namun demikian berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli seperti Garrison tahun 1997, Schillereff tahun 2001, dan Scheidet tahun 2003 ternyata belajar mandiri juga cocok untuk semua tingkatan usia. Dengan kata lain, belajar mandiri sesuai untuk semua jenjang sekolah baik untuk sekolah menengah maupun sekolah dasar dalam rangka meningkatkan prestasi dan kemampuan siswa (http://www.nwrel.org/planing/reports/self-direct/index.php )
Pengertian tantang belajar mandiri sampai saat ini belum ada kesepakatan dari para ahli. Ada beberapa variasi pengertian belajar mandiri yang diutarakan oleh para ahli seperti dipaparkan Abdullah(2001:1-4)sebagaiberikut:
1. Belajar Mandiri memandang siswa sebagai para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses pelajaran mereka sendiri. Belajar Mandiri mengintegrasikan self-management ( manajemen konteks, menentukan setting, sumber daya, dan tindakan) dengan self-monitoring (siswa memonitor, mengevaluasi dan mengatur strategi belajarnya) (Bolhuis; Garrison).
2. Peran kemauan dan motivasi dalam Belajar Mandiri sangat penting di dalam memulai dan memelihara usaha siswa. Motivasi memandu dalam mengambil keputusan, dan kemauan menopang kehendak untuk menyelami suatu tugas sedemikian sehingga tujuan dapat dicapai (Corno; Garrison).
3. Di dalam belajar mandiri, kendali secara berangsur-angsur bergeser dari para guru ke siswa. Siswa mempunyai banyak kebebasan untuk memutuskan pelajaran apa dan tujuan apa yang hendak dicapai dan bermanfaat baginya (Lyman; Morrow, Sharkey, & Firestone).
4. Belajar Mandiri “ironisnya” justru sangat kolaboratif. Siswa bekerja sama dengan para guru dan siswa lainnya di dalam kelas (Bolhuis; Corno; Leal).
5. Belajar Mandiri mengembangkan pengetahuan yang lebih spesifik seperti halnya kemampuan untuk mentransfer pengetahuan konseptual ke situasi baru. Upaya untuk menghilangkan pemisah antara pengetahuan di sekolah dengan permasalahan hidup sehari-hari di dunia nyata (Bolhuis; Temple & Rodero).
Jika para ahli di atas memberi makna tentang belajar mandiri secara sepotong-sepotong, maka Haris Mujiman (2005:1) mencoba memberikan pengertian belajar mandiri dengan lebih lengkap. Menurutnya belajar mandiri adalah kegiatan belajar aktif, yang didorong oleh niat atau motif untuk menguasai suatu kompetensi guna mengatasi suatu masalah, dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang dimiliki. Penetapan kompetensi sebagai tujuan belajar, dan cara pencapaiannya – baik penetapan waktu belajar, tempat belajar, irama belajar, tempo belajar, cara belajar, maupun evaluasi belajar – dilakukan oleh siswa sendiri. Di sini belajar mandiri lebih dimaknai sebagai usaha siswa untuk melakukan kegiatan belajar yang didasari oleh niatnya untuk menguasai suatu kompetensi tertentu.
Pengertian belajar mandiri yang lebih terinci lagi disampaikan oleh Hiemstra (1994:1) yang mendeskripsikan belajar mandiri sebagai berikut:
1. Setiap individu siswa berusaha meningkatkan tanggung jawab untuk mengambil berbagai keputusan dalam usaha belajarnya.
2. Belajar mandiri dipandang sebagai suatu sifat yang sudah ada pada setiap orang dan situasi pembelajaran;
3. Belajar mandiri bukan berarti memisahkan diri dengan orang lain;
4. Dengan belajar mandiri, siswa dapat mentransfer hasil belajarnya yang berupa pengetahuan dan keterampilan ke dalam situasi yang lain.
5. Siswa yang melakukan belajar mandiri dapat melibatkan berbagai sumber daya dan aktivitas, seperti: membaca sendiri, belajar kelompok, latihan-latihan, dialog elektronik, dan kegiatan korespondensi.
6. Peran efektif guru dalam belajar mandiri masih dimungkinkan, seperti dialog dengan siswa, pencarian sumber, mengevaluasi hasil, dan memberi gagasan-gagasan kreatif.
7. Beberapa institusi pendidikan sedang mengembangkan belajar mandiri menjadi program yang lebih terbuka (seperti Universitas Terbuka) sebagai alternatif pembelajaran yang bersifat individual dan program-program inovatif lainnya.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli dan beberapa pertimbangan di atas, maka belajar mandiri dapat diartikan sebagai usaha individu untuk melakukan kegiatan belajar secara sendirian maupun dengan bantuan orang lain berdasarkan motivasinya sendiri untuk menguasai suatu materi dan atau kompetensi tertentu sehingga dapat digunakannya untuk memecahkan masalah yang dijumpainya di dunia nyata.
Self-directed learning adalah kegiatan belajar mandiri, sedangkan orang yang melakukan kegiatan belajar mandiri sering disebut siswa mandiri (self-directed learners). Abdullah, M.H (2001) dalam ERIC digest No. 169 mengatakan self-directed learners adalah sebagai “para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses pembelajaran yang mereka lakukan sendiri”. Individu seperti itu mempunyai keterampilan untuk mengakses dan memproses informasi yang mereka perlukan untuk suatu tujuan tertentu. Dalam belajar mandiri mengintegrasikan self-management ( manajemen konteks termasuk latar belakang social, menentukan, sumber daya dan tindakan) dengan yang self-monitoring ( proses siswa dalam memonitor, mengevaluasi, dan mengatur strategi belajarnya).

                                                                                                Disusun oleh Indra Hidayat
                                                                                                Prodi BSI sem I Kelas B
                                                                                                N0 56