Rabu, 08 Maret 2017

Nenek penjual Kayangan part 4

Buru-buru pemuda itu berlari menuju ke dermaga tempat kapal memuntahkan muatannya. Ia berlari agak kencang karena takut ketinggalan kapal. Ya, ampun! Ia lupa berpamitan dengan si nenek. Bahkan ia belum sempat menanyakan siapa namanya dan dimana tempat tinggalnya. Ia menyesal sejadi-jadinya. Namun, satu hal yang menjadi pengingatnya, tentang Saleh dan Minah. Hanya itu yang bisa ia jadikan sebagai penanda. Dinaikinya kapal itu selama satu jam hingga ia tiba di Tano untuk melanjutkan perjalanan ke Bima. Perjalanan kembali ke kampung halaman kali ini menjadi terasa sunyi. Di sepanjang jalan ia teringat dengan si nenek. Ia memojok di jendela bis dan terus mengingat cerita si nenek hingga ia tidak sadar air matanya kembali menetes. Bunyi handphonenya berulang kali tetapi tidak digubrisnya. Ah, begitu dalam perasaannya rupanya. Hingga kesekian puluh kali handphonenya kembali berbunyi, baru ia mengangkatnya. Rupanya ia adalah Amar, teman dekat yang juga seorang manajer di toko elektronik miliknya. Lalu sebenarnya siapa dia? Ya, dia adalah Hasim Haryanto, seorang pemuda berdarah Bima Jawa yang sukses di usia muda. Ia memiliki sepuluh cabang usaha nomor wahid di Bima. Di usianya yang berjalan 27 tahun, ia sudah bisa mengumpulkan 100 orang karyawan beserta tenaga teknis. Keuntungannya berlimpah setiap bulannya, namun tidak lekas membuatnya sombong. Ia adalah pengusaha muda yang bisa hidup sederhana. Berbagi adalah hal yang membahagiakan dan peduli adalah sikap terdepan dari dirinya. Rupanya hari itu ia baru pulang dari Jakarta. Ia turun di bandara Internasional Lombok kemudian melanjutkan perjalanan kembali ke Bima hingga ia bertemu dengan si nenek. Kali ini Amar benar-benar dibuat pusing olehnya. Berkali-kali ia menghubungi teman sekaligus bosnya itu. Sebagai orang yang berada pada ranah bisnis, waktu adalah segalanya. Melalaikan waktu sama halnya membuang kesempatan untuk meraih keuntungan. Namun, prinsip itu sepertinya meluber setelah ia seharian memikirkan si nenek. Hingga Amar berhasil menghubunginya pun, jiwa bosnya hilang sejenak. "Aduh, kawan. Kamu kenapa sih? Dari tadi kita hubungi tidak diangkat-angkat. Bikin cemas tahu!" Amar sedikit menggerutu.
"Oh, maaf. Tadi saya ketiduran di bis. Kenapa, Mar?" Hasim menutupi perasaannya. "Gini, rencana bakti sosial di Sanolo besok jadi tidak?" "Ya, jadilah. Kan sudah saya serahkan ke kamu." "Ya, saya khawatir ada perubahan saja. Kalau begitu saya kukuhkan ke teman-teman." "Ya, lanjut saja. Oh, kemarin samsung dari Surabaya sudah sampai?" "Sudah, jam sepuluh." "Oh, bagus lah. Kalau begitu sampai ketemu di Bima." "Iya,dah. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam." Bersambung