Senin, 14 Juli 2014

Cerpen Nenek Penjual Kayangan part III

"Innalillahi wainna ilaihi rojiun..." seru pemuda dengan nada sedih.
"Saya benar-benar tidak berfirasat akan terjadi sesuatu. Saya benar-benar merasa mereka sedang asyik berjualan di sekitar pelabuhan. Hingga tengah malam tiba, saya meringankan hati untuk bangun shalat walau beberapa rakaat. Ketika melewati dapur, barulah teringat bahwa hape tertinggal di sana. Akhirnya hape saya ambil dan iseng untuk memencet-mencet. Rupanya banyak sekali panggilan tak terjawab. Cemas mulai hadir, karena Minahlah yang rupanya menelepon. Kemudian SMS itu saya buka dan membaca meski tidak begitu lancar. Kecemasan itu semakin menjadi. Kemana perginya kedua anakku dan mengapa tiba-tiba memohon maaf dengan lembutnya? Namun salat sunnah tetap dilanjutkan seraya bermunajat kepada Allah untuk diberikan petunjuk. " Nenek mengusap matanya yang berkaca mengenang peristiwa itu.
"Rupanya kegelisahan saya terjawab dua jam setelah itu. Sekitar pukul empat pagi, seorang teman seperjuangan Saleh yang biasa dipanggilnya Amin datang ke rumah untuk mengabarkan kejadian serta bercerita serinci-rincinya. Kabar itu bak badai besar yang melanda keyakinan saya. Saya sempat berbicara tidak karuan tanda tak sadar. Namun Aminlah yang menolong dan menguatkan saya. Maka ketika saya mulai sadar kembali, barulah saya menangis sejadi-jadinya. Bisa saja tidak banyak orang yang mendengar tamgisan itu karena rumah di sana jarang adanya. Sementara dua cucu saya tertidur pulas. Ah..... ini seperti mimpi buruk cucuku...."
"Lalu apa tindakan pihak kapal, Nek?" Si pemuda kembali bertanya.
"Pagi-pagi jasad Saleh dan Minah dicari. Syukur mereka ditemukan meskipun sudah tak bernyawa. Setidaknya itu menutupi rasa kehilangan saya. Sementara anak mereka tidak mengerti apa yang sedang menimpa keluarganya. Hanya pandangan kosong yg terpancar, serta hati yang membeku...." suara pelan nenek menutup cerita.
"Astagfirullah... Ampuni hamba ya Allah. Hamba yang tak pandai bersyukur." Pemuda bertengadah seraya menghayati musibah yang dialami si nenek.

"Tenang, Nak. Saya di sini masih kuat. Saya tak mau menyia-nyiakan amanat yang Allah titipkan. Saya yakin ada hikmah di balik semua ini. "
"Tapi setelah Nenek bercerita seperti ini pun, saya tidak akan menyia-nyiakan amanat untuk saya. Mulai hari ini nenek menjadi amanat bagi saya!"
"Maksudnya apa, Nak?"
" Nenek tak usah khawatir, saya akan berusaha memperhatikan Nenek sekuat tenaga saya. Hari ini mungkin saya belum bisa membawa Nenek tinggal dengan saya. Namun di dompet saya ini ada beberapa ratusan uang. Saya berharap Nenek tidak keberatan untuk menerimanya"
"Tapi, Nenek masih kuat. Insya Allah nenek mampu mengurus kedua cucu nenek juga."
" Jangan menolak, Nek. Ini adalah kesempatan beramal saya. Beberapa waktu lagi, insya Allah saya ke sini lagi. Saya akan cari nenek sampai dapat, sekuat tenaga saya."
"Tapi, tapi... saya malu, Nak. Anakda itu orang baru saya kenal. tak mungkin saya begitu lancang kepada kamu."
"Ah, ini cara Allah menolong Nenek. Terimalah."
Si nenek kemudian menunduk menangis haru. Hari ini bisa saja menjadi hari paling bahagianya setelah lama diselimuti kepedihan yang berkepanjangan. Sementara si pemuda berjanji apabila ia datang akan menjemput Nenek beserta cucunya untuk tinggal bersamanya.
Lalu, siapa sebenarnya pemuda itu dan dari mana datanya?

bersambung...