Minggu, 17 Agustus 2014

Cerpen: Kelas si Hamsi

by Indra Hidayat Pagi itu ketika sinar matahari hendak masuk ke ruangan belajar, rupanya Hamsi sudah hadir lebih awal. Tampak mukanya beringisan bercampur senang karena baru saja berhasil mengerjai kakaknya di rumah. Sebagai salah seorang mahasiswa di perguruan tinggi swasta STKIP Yapis Dompu, ia berkuliah seperti teman-teman lainnya. Namun kadang ulah jahilnya kerap membuat seisi kelas menjadi gaduh dan riuh dan tidak jarang pula dosen dan mahasiswa kesal dan jengkel dibuatnya. Sebagaimana diinformasikan oleh ketua tingkat sebelumnya, hari itu akan ada mahasiswa pindahan dari pulau Jawa. Pembicaraan mahasiswa pindahan itu sudah ramai dibicarakan karena ketampanannya. Para gadis di kelas sibuk menggosipkan tentangnya meskipun mereka belum melihatnya langsung. Disebabkan oleh ulah gadis-gadis di kelas yang berlebihan, Hamsi cenderung mengomentari sebagai tanda protes. Ya, hal yang wajar saja karena dengan itu popularitasnnya sebagai raja usil dan jahil akan tersisihkan oleh gosip baru. Di luar sangkaan Hamsi, mahasiswa baru itu benar-benar datang lebih awal setelahnya. Namun bagaimanapun ulah Hamsi tidak akan pernah tertinggal meskipun hanya sebatas pemanasan. Dia mulai berlagak akrab dengan mahasiswa itu meskipun belum diketahui olehnya siapa nama mahasiswa yang menjadi korban gosip itu. “Hhh..Hay... Aku Hamsi! Aku mahasiswa jurusan Sastra di sini. Kamu siapa?” lagak Hamsi yang sedang sok kenal sok dekat. “Hay juga! Aku Dicky pindahan dari Fakultas Sastra Undip. Yah, ke sini atas permintaan ortu kok.” jawab Dicky tidak mau kalah. “Oo, keren ya anak Undip. Hehehe...” celetus Hamsi disertai tawa kecil. “Tidak juga. Biasa aja lagi, Bro!” sela Dicky sedikit merendah. “Eh, kamu tahu tidak di sini dosennya banyak yang galak. Apalagi dosen mata kuliah Kajian Puisi itu. Ih, seram sekali deh pokoknya!” gaya Hamsi mulai menakut-nakuti. “Aku tahu!” tanggapan Dicky santai. “Apalagi kalau masuk ke kelas kita, matanya diplototin sampai mau keluar. Sudah begitu, suaranya kayak suara raja hutan. Sebalin deh!” lagi-lagi Hamsi berpersuasi. “Aku tahu kok!” jawab Dicky masih ringan. “Apalagi kalau lagi ujian, mahasiswa pada geram semua karena kita tidak boleh ngapa-ngapain. Ya, diatur begini lah, begitu lah, ke sana lah, ke sini lah. Pokoknya kita kayak robot aja yang semaunya dipencet remotnya sampai lemot!” persuasi Hamsi sambil berapi-api. “Aku tahu kok!” tanggap Dicky yang masih saja datar. “Ngomong-ngomong, kok kamu tahu semua, emang kamu dari mana?” Hamsi bertanya penasaran. “Aku ‘kan anaknya!” jawab Dicky santai. “Hah? Masak iya?” tanya Hamsi tidak percaya. “Santai aja, Bro. Emang Bapakku itu yang menyuruhku pindah ke sini.” Jawab Dicky tidak mau memperlihatkan kemarahan. “Sorry, ya! Hehehe, aku hanya bercanda kok!” tanggap Hamsi menutupi rasa malu. Hari itu menjadi tamparan hebat buat Hamsi. Seumur-umur berada di kampus itu, Dicky lah yang menjadi penangkal kejahilannya. Entah karena bapaknya telah memberi tahu sebelumnya perihal Hamsi di kelas barunya, atau karena ia punya selera yang sebelas dua belas dengannya. Satu bulan berlalu, ujian tengah semester tiga pun tiba, sudah menjadi menjadi jurus andalan Hamsi yaitu contekan yang disimpannnya di tempat-tempat ajib. Tidak ketinggalan di sela kaos kaki dan sepatunya. Maka mengetahui itu, Dicky yang mulai terbiasa mengerjainya membuat ulah buat Hamsi. “ehm, ehm...” Dicky mulai beraksi. “Kenapa Dicky, tak ada minyak tak ada lendir, kok batuk-batuk?” Hamsi menutupi ketegangan. “Anu, di sepatuku ada yang timbul-timbul dan kelipat-lipat begitu!” Dicky mulai mengerjainya. “Astaga naga!” Hamsi berlagak kaget. “Astaga kodok.” Dicky tidak mau kalah. “Lho, kok tanggapannya begitu?” “Hamsi, Hamsi. Kamu juga lucu. Ngapain juga kamu ngatain aku naga? Yang benar ‘kan astagfirullahal azhiim.” “Ah, ada-ada aja kamu Dicky. Biasa kok orang katakan begitu.” “Hati-hati lho membiasakan sesuatu yang tidak dibiasakan!” sindir Dicky pelan. “Udah, ah! Aku mau lanjut lagi!” “Yayaya. Jangan nyontek lho Hamsi. Ntar kalau ketahuan bahaya!” “Nggak. Aku udah belajar kok!” “Hehehe, hanya nasehat lho, Hamsi!” “Iya iya!” Demikian cara Hamsi menutupi kebiasaan buruknya selama ujian. Setelah ujian tengah semester berlangsung, maka mahasiswa belajar kembali seperti biasanya. Kali ini dosen mata kuliah Sejarah Sastra ibu Nining lah yang menjadi sasaran kejahilan Hamsi. Mula-mula Ibu Nining duduk dan mulai menerangkan kembali materi kuliah tentang beberapa tokoh sastra tersohor pada masa lampau. Namun di pojok ruangan, Hamsi malah sibuk melempar-melempar Dicky dengan bola-bola kertas. Melihat ulahnya itu, Ibu dosen memberikan teguran sekaligus pertanyaan kepadanya. "Hamsi, jangan main-main kamu!" ungkap ibu Nining dengan suara sedikit disentak dan setengah centil. "Iya, Bu. Maaf." "Sekarang kamu jawab pertanyaan saya! Kamu kenal siapa itu Hamka?" pertanyaan Dosen bertambah centil. "Tidak lah, Bu!" menjawab sembari tertawa geli seakan merasa dosen sedang pamer mantan pacarnya. "Terus, Sutan Takdir kamu tahu?" Kembali Hamsi berbicara dalam hati "Ah, ibu mentang-mentang punya banyak pacar malah pamer sih!" "Hamsi!" Kembali ibu dosen memanggilnya. "Iya, Bu. Saya tidak tahu!" "Terus Marah Rusli juga kamu tidak kenal?" "Ah, ibu nanya yang aneh-aneh. Coba sekarang saya nanya Ibu. Ibu kenal Rika Putri Ainda tidak?" celetus Hamsi bertanya menguji. "Tidak!" "Terus, si Dina Madinah kenal tidak?" "Tidak juga!" "Terus, si Eka Puspita kenal tidak?" "Juga tidak! Emang mereka siapa?" "Aduh, Ibu Dosen. Kita kan punya kenalan masing-masing...., Bu!" "Hah? Maksud kamu apa?" tanya Dosen kaget. "Ah saya jengkel ibu pamer mantan pacar aja dari tadi!" "Busyet! Itu nama tokoh-tokoh sastra Indonesia, Hamsi!" Ibu Dosen menunjukkan geramnya. "Ops, gitu ya? Sorry, Bu!" Hamsi berlagak norak dan serba salah. Maka seketika ruangan berubah gaduh dan pecah oleh teriakan dan sorakan. "Sudah, sudah, sudah!" Dosen Sejarah Sastra itu menenangkan ruangan. Tepat setelah proses perkuliahan selesai, maka Dicky mendekati Hamsi untuk sekedar mengingatkan. Kebodohan dan usilnya itu mengganggu banyak orang. Yah, entah kebodohan itu memang direncanakan atau memang karena daya tangkapnya yang lemah. Dicky pun sudah mengetahui akan banyaknya mata kuliah yang Hamsi tidak lulus. Oleh karena Itu bisa saja dosen merasa geram padanya atau memang ia tak pantas untuk diluluskan karena loadingnya yang super lelet. Akan tetapi, lagak Hamsi seakan tak mau mendengarkan nasihat Dicky. Didengarkannya masukan itu hanya sambil lalu saja seakan tak penting baginya. "Hamsi, sebelum semuanya terlambat lho! Kamu akan rugi kalau tidak segera merubah sikap dan kemampuan berpikirmu." ungkap Dicky menasehati. "Iya, iya! Terima kasih guru yang bijaksana!" "Waduh, kamu kayak gini kapan seriusnya? Kamu tidak malu ditertawai seperti itu?" "Ada saatnya untuk saya menyadari itu teman!" "Ya, terserah kamu lah! Malas juga aku lihat bagaimana kamu menanggapinya!" Dicky lantas meninggalkan Hamsi dengan sedikit kecewa. Benar rupanya apa yang dipesankan teman-temannya. Selagi Hamsi tidak merubah sikapnya itu, maka bisa saja jumlah dosen yang tidak senang kepadanya terus bertambah. Hingga waktunya dosen kajian puisi yang paling dibencinya pun masuk di ruangan mereka. Lagak Hamsi hari itu polos dan belum ada tanda usilnya. Hal yang wajar tentunya karena bapaknya Dicky itu adalah orang yang paling ditakuti sekaligus dibencinya di kampus. Namun meski suasana kelas datar dan tidak mencolok, rupanya tidak membuat ekspresi wajah dan intonasi suara Pak Dosen menjadi tenang dan lembut. Maka, tegas dan pasti dosen mengumumkan kepada para mahasiswa. "Sebelum proses kuliah dimulai, yang bawa hape matikan!" Spontan Hamsi menanggapinya serius. Seakan hal yang luar biasa untuknya. "Sekali lagi, yang bawa hape matikan!" penegasannya dengan sentakan luar biasa. Maka spontan Hamsi terbangun dari tempat duduknya dan hendak lari keluar kelas. "Busyet! Tidak, tidak, tidak!" teriak Hamsi agak ketakutan. "Hei, stop! Kenapa kamu seperti cacing kepanasan begini?" tanya dosen penasaran. "Mohon ampun, Pak. Saya mengaku banyak salah sama Bapak, sama teman-teman juga! Saya juga sebenarnya belum pantas lulus sekolah, karena saya tidak mengerti apa-apa! Selama ujian, saya hanya mengandalkan jawaban dari orang-orang, Pak. Saya mohon ampun!" "Kamu ngomong apa?" Dosen kebingungan. "Saya mengerti Bapak tidak senang sama saya, Pak. Tapi saya mohon jangan bunuh saya, Pak. Sekali lagi saya mohon!" "Lha ngapain juga saya harus membunuh kamu? Kamu siapa?" Hamsi terdiam, teman-temannya pun terdiam. "Ttt.. tadi.. Bbbb.. Bapak bbb.. bilang kepada teman-teman, ssssa..yya akan ddd..dibunuh kk..karena kkk.. kktahuan mm.. main hape ddd.. di kelas, Pak!" "Kapan saya bilang?" bertanya dengan sedikit ditekan. "Tt..tadi Bapak bb..bilang yang bb..bawa hh..hape matikan. Bapak bb..berarti mm..menyuruh tt..teman-teman bb..bunuh saya, Pak!" Mendengar penjelasan itu, ruangan berubah riuh dan ramai. Merasa perlu mengarahkan Hamsi, dosen menenangkan ruangan dan mulai berkomentar untuknya. "Sudah, sudah, sudah! Dengar kamu. Kemungkinan semester ini juga banyak mata kuliahmu yang tidak lulus karena kebodohanmu. Sebaiknya kamu segera rubah diri dan minta bimbingan teman-temanmu. Kalau kamu mau rubah diri dan rubah sikap, saya masih punya kesempatan untukmu supaya bisa lulus. Jangan hanya bangga dengan usil dan lagak bodohmu. Mohon maaf kalau nasehat saya menyakitkan!" "Iya, Pak. Saya akan mendengarkannya! “lagipula, kalimat saya tadi cukup bisa dipahami kok. Masak iya kamu artikan yang lain. Hapemu yang dimatikan bukan kamu. Paham?” “Iya, Pak. Saya mohon maaf.” “Ya, sudah. Mulai sekarang kamu harus bongkar semua kebiasaan burukmu. Rajin belajar dan bertanya untuk memperbaiki kekuranganmu!” “Iya, Pak. Saya berjanji akan ingat kata-kata Bapak.” Suasana ruangan berubah hening. Karena terenyuh, Hamsi meneteskan air mata karena malu dan haru. Malu mengakui kekurangan dan kebodohannya, dan haru karena dosen yang paling dibencinya mampu menghadirkan kekuatan untuknya. Spontan saja ia meraih tangan pak dosen dan menciumnya. Melihat itu, teman-teman mahasiswa ikut hanyut terbawa suasana. Bahkan tidak berat mereka menyumbangkan aplous tanda bangga kepadanya. Tiga tahun kemudian, akhirnya ia diwisuda satu tahun lebih lambat dari teman-teman sekelas karena banyak mata kuliah yang mesti diulanginya. Namun rupanya pengulangan itu menjadi hal positif karena banyak dosen yang kagum akan perubahan sikap dan kemampuan Hamsi. Dengan indeks prestasi 3.52 ia mampu menjadi salah seorang mahasiswa yang cumlaude di kampus itu. “Inilah persembahan untuk orang tuaku, dosen-dosenku, sahabat-sahabatku yang selama ini tidak berhenti mendorongku untuk menjadi lebih baik. Di kelas itu, kelas si Hamsi, kami menyapa dunia, kami bisa membuktikan untuk menjadi agen of change.......” Demikian akhir kata Hamsi saat pidato persembahan wisudawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar